April 22, 2013

hujan saat ini

saat ini sedang hujan, dengan suaramu yang menghentak di telinga, aku berusaha sekuat-kuatnya untuk berkonsentrasi pada pekerjaan, yang sesungguhnya semakin membebani. karena pikiranku berada jauh di tempatmu, bersama anganku tentangmu, dan segala tentangmu.
aku berusaha untuk sejenak melupakanmu, tapi semakin kuhembuskan kata untuk melupakanmu, maka semakin kuat bayanganmu menari di mataku. aku merasa heran, mengapa kini aku sulit untuk melihat kegelapan, karena dalam setiap kedipan mataku, selalu terlihat dirimu.
hujan ini semakin membuat sekitar menjadi dingin, sedingin aku merindukan dirimu untuk selalu tersenyum. sering kali kulihat dirimu sendiri, seperti selalu ada yang menusuk-nusuk matamu, membuatnya selalu menggenang penuh air. airmata sedihkah, atau airmata bahagia? kuharap itu sebuah bulir airmata bahagia, karena betapa ingin aku melihatmu selalu bahagia, sungguhpun dalam untaian airmata.
benarkah airmata ini airmatamu ataukah titik air hujan yang membasahi bumi? mengapa tak kulihat sedikitpun cahaya terang di matamu, saat tatapan kita bertemu.

April 21, 2013

Kartini, Sebuah Persona


Kartini: satu tokoh epik dan tokoh tragik sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal dalam umur 24 tahun.
Tak mengherankan bila pemikir feminisme Indonesia awal ini lebih sering dihadirkan dalam bentuk “siapa”. Sepengetahuan saya, masih sedikit usaha meletakkan pikiran dan argumen Kartini – yang kemudian diterbitkan setelah ia meninggal – dalam kaitannya dengan pikiran dan argumen orang cendekia lain di awal abad ke-20, seperti H.O.S Tjokroaminoto, Tan Malaka, Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, S.Takdir Alisyahbana, Syahrir dan lain-lain, ketika masyarakat Indonesia menghadapi soal-soal modernitas dan identitas, kemajuan dan tradisi, kondisi kolonial dan pembebasan, agama dan semangat Aufklärung.
Surat-surat Kartini kepada Stella Hollander, (seorang perempuan muda biasa di Negeri Belanda, yang tahu sedikit-sedikit tentang “Hindia” melalui bacaan dan perspektif kaum “progresif”) dapat bermanfaat untuk itu: membahas Kartini bukan sebagai tokoh, tapi pokok. Dari sini kita akan dapat mengikuti, misalnya, deskripsi dan tinjauannya tentang hubungan antara birokrasi kolonial dan rakyat setempat, antara birokrasi itu dan pemerintahan Hindia Belanda – dalam perbandingan dengan gambaran Multatuli dalam Max Havelaar — penggunaan dan penyalah-gunaan kekuasaan dan simbul-simbulnya, juga reaksinya terhadap keadaan pathologis masyarakat waktu itu, yang hidup di bawah diskriminasi rasial dan apartheid bahasa.
Menarik juga untuk mencoba melihat apa yang tidak disentuh Kartini. Misalnya ketegangan kelas masa itu, antara petani dan priyayi, antara priyayi dan santri — sesuatu yang seharusnya oleh Kartini dirasakan secara dekat, sebab ibu kandungnya sendiri, selir bapaknya, bukanlah dari kalangan priyayi; ia konon berasal dari kalangan pesantren..
Tapi bisa dimengerti bila tentang Kartini orang lebih bicara sebagai tokoh ketimbang pokok. Ide Kartini bukan datang dari ide. Berbeda dengan banyak pemikiran feminisme di Indonesia akhir abad ke-20, apa yang dikatakan Kartini bukan sekedar saduran. Pengaruh luar tentu ada dan penting. Tapi dalam hal Kartini, ide itu berkembang dari tubuh yang langsung menanggung sakit – satu hal yang tak dialami oleh intelligentsia Indonesia yang bukan perempuan ketika mereka berbicara tentang pedihnya hidup orang tertekan di masyarakat kolonial. Mereka laki-laki, dan mereka tak hidup sebagai buruh, tani atau pun si miskin dalam bentuk lain.
Yang ingin saya katakan ialah bahwa bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis.
Persoalannya: bagaimana Kartini “ada”? Kita tak mengenalnya kecuali melalui surat-suratnya. Atau dengan membaca riwayat hidupnya – yang umumnya ditulis dengan bahan pokok ratusan pucuk surat-surat itu. Kita tak mengenal zamannya, kecuali dengan membaca buku sejarah masa itu.
Yang sering dilupakan ialah bahwa tiap sosok yang berbicara selalu hadir sebagai persona: bagaimana ia merepresentasikan diri sebagai respons terhadap orang lain tempat ia berbicara. “Bagaimana” di situ adalah sebuah proses – kita perlu melihatnya sebagai proses – tatkala ia bernegosiasi dengan si orang lain, dengan menggunakan bahasa, untuk menyesuaikan dan mengubah persepsi, untuk merumuskan identitas atau memodulasi identitas itu, untuk memilih apa yang dikatakannya dan apa yang tak dikatakannya.
Dalam sepucuk surat bertanggal 18 Agustus 1899, misalnya, ia menulis: “Sebelum kamu mengatakannya bahkan aku tidak tahu kalau aku keturunan bangsawan.” Tampak bahwa Kartini mencoba meletakkan dirinya dalam suatu latar sosial yang sebenarnya tak persis ada padanannya dalam pengalaman Eropa – dan kemudian menunjukkan sulitnya kedua pengalaman dipertukarkan.
Di dalam bagian surat ini, negosiasi berlangsung tanpa hasil yang memuaskan. Tapi Kartini tampaknya sepakat untuk mengidentifikasikan dirinya, seorang putri priyayi, dengan aristokrasi (“bangsawan”). Pada saat yang sama ia tak menyebutkan kesulitan lain: asal usul dirinya sendiri, yang beribukan seorang selir yang datang bukan dari kalangan yang kini sudah disepadankan dengan “aristokrasi”. Malah yang dikatakannya: “Ibuku masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura” – meskipun Kartini tahu, dan Stella tidak, bahwa “Ibu” di sini bukanlah ibunya sendiri, melainkan ibu tirinya, “permaisuri” Bupati Jepara.
Tentu saja ada yang tak pas di sini, dan saya kira Kartini sadar ia menghadapi satu persoalan yang rumit dan peka. Penyelesaiannya sangat sepadan dengan pandangan egalitarian Stella Zeehandelaar: “Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh dari pada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena dia keturunan bangsawan”.
Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku, dan “Raden Ajeng’, dua kata ini menunjukkan gelar. Ketika aku memberikan alamatku… tentu aku tidak bisa hanya menulis Kartini, bukan? Hal ini pasti akan mereka anggap aneh di Belanda, sedang untuk menulis jeffrouw (nona) atau sejenisnya di depan namaku, wah, aku tidak berhak untuk itu – aku hanyalah orang Jawa (24 Mei 1899)
Dalam kutipan-kutipan di atas tampak, bagaimana Kartini yang berbicara di situ adalah Kartini yang harus membentuk diri dan terbentuk dalam sebuah pertemuan: Kartini yang menafsirkan dirinya sendiri untuk lebih mudah dipahami orang “di Belanda”, kemudian untuk dipahami Stella, seorang perempuan di negeri itu yang baru dikenalnya melalui surat.
Sudah tentu salah satu kekurangan besar dalam pembicaraan tentang surat-surat Kartini selama ini ialah tak diketemukannya surat-surat yang ditulis oleh Stella, orang yang pernah menyebut Kartini “pasangan jiwa” itu (surat bertanggal 13 Januari 1900). Seandainya bahan-bahan itu diketemukan, akan dapat diketahui lebih jelas bagaimana persona Kartini terbentuk dan hadir sebagai “Kartini” yang kita kenal selama ini.
Dengan sendirinya, medium sangat berperan penting dalam terbentuknya persona itu. Korespondensi, kita tahu, berbeda dari catatan harian. Catatan harian adalah ibarat sebuah kapsul pesawat antariksa yang berisi seorang astronaut di dalamnya. Dalam catatan harian, seseorang masuk dan diam di sebuah ruang komunikasi yang paling intim, tapi juga berada dalam ruang pikiran dan imajinasi yang hampir tanpa batas. Tak ada orang lain. Atau orang lain itu (seperti dalam catatan harian Anne Frank) diciptakannya sendiri dan berada di bawah ampuannya: teman bicara imajiner itu tak bisa menjawab.
Kecuali bila seseorang sadar bahwa catatan hariannya suatu ketika akan dibaca orang lain, maka ia praktis secara mutlak menguasai ruang komunikasi itu. Ia bisa berbicara apa saja: tentang malasnya suami atau bentuk hidung mertua. Catatannya bisa berperan seperti sebuah curahan konfesional, semacam pengakuan dosa yang tanpa pastur. .
Bila catatan harian adalah ekstrim yang satu, media massa adalah ekstrim yang lain Bila catatan harian ibarat sebuah kapsul pesawat antariksa, media massa ibarat sebuah konser di alun-alun. Ruang komunikasi di sini hampir sepenuhnya publik. Menjangkau sebuah audiens yang besar, berkat teknologi Guttenberg dan kapitalisme-cetak, media massa mengandung paradoks. Ia kuat dalam potensi mempengaruhi, tapi ia juga rentan.
Berbeda dengan para peminat dan partisipan sastra tulis yang diproduksikan dalam bentuk manuskrip, yang “beredar” dan dibaca di kraton-kraton, audiens media massa tak dikenal oleh sang penulis dengan akrab. Sang penulis hanya menduga-duga auidens itu, baik tingkat informasinya maupun potensinya menerima informasi baru, baik nilai-nilainya maupun kecemasannya. Seorang yang muncul di depan audiens yang luas itu bisa merasa dalam posisi kekuasaan. Tapi ia juga dalam sorotan yang tak bisa dikendalikannya.
Kartini, terutama karena posisi sosialnya yang khusus, memilih menampilkan diri dengan cara yang paling elusif:
Apa yang kutulis di surat kabar hanya omong kosong saja…aku tidak diizinkan menyinggung isu-isu penting…Ayah tidak suka bila anaknya menjadi buah bibir orang banyak. (20 Mei 1901)
Ia masih mengambil sikap yang sama setahun kemudian:
…aku ingin [menulis di surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap tidak dikenal…di Hindia ini – jika seseorang mendengar tentang artikel-artikel yang ditulis perempuan Jawa, mereka akan segera tahu siapa menulis tulisan itu. (14 Maret 1902)
Dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas, surat-menyurat bisa dilihat sebagai sesuatu yang berada di tengah-tengah –antara ruang komunikasi yang intim dan surat kabar. Dalam korespondensi, ada seorang lain yang nyata, yang bisa bertanya dan bereaksi. Tak hanya itu: orang lain itu secara konsisten dapat diidentifikasikan,
Stella Zeehandelaar adalah salah satu dari orang lain itu. Tapi dengan kualifikasi yang khusus: ia “sahabat pena”. Kata ini mengandung ambivalensi. Persahabatan itu terjalin, tapi antara kedua penulis surat belum pernah ada pertemuan secara fisik. Keduanya hanya dihubungkan dengan sebuah instrumen kecil untuk menyampaikan kata-kata, “pena”.
Ambivalensi itu tercermin pula dalam bahasa yang dipakai. Dalam bahasa Kartini, ungkapan ekspresif silih berganti dengan ungkapan komunikatif.
Terkadang ia memasukkan diri ke dalam wilayah pengalaman Stella (ia menyebut sepotong pantai di Laut Jawa sebagai “Klein Scheveningen”, seakan-akan Jepara bisa dibayangkan sebagai Den Haag). Di saat lain ia memasukkan Stella ke dalam wilayah pengalamannya, seperti ketika ia dengan liris dan memukau menceritakan suasana senja di pendopo kabupaten: “Gamelan…yang ada di pendopo itu bisa bercerita padamu lebih banyak dari padaku”.
Tapi dengan kalimat seakrab itu pun, Kartini toh tetap tidak mengungkapkan kepada Stella bahwa ia – yang dengan getir menggambarkan hak laki-laki untuk berpoligami – adalah hasil dari seorang ayah yang beristeri dua. Kartini memilih kata-kata keras untuk melukiskan sikapnya terhadap perkawinan semacam itu: “aku sendiri membenci, menganggap rendah”, dan ia ingin “mengubah keadaan yang tak tertahankan ini”. Tapi sesuatu yang justru dialaminya sehari-hari, di dekat ibu kandungnya yang selir, tetap tak diperlihatkan. Stella, yang menyebutnya dan disebutnya “pasangan jiwa”, tetap seorang asing.
Dalam ambivalensi itu pula, Kartini tiba-tiba bisa memposisikan Stella seolah-olah sahabatnya itu wakil dari keangkuhan dan ketidak-tahuan Eropa.
Seperti terbaca dari suratnya bertanggal 15 Agustus 1902, ia ingin agar Stella tahu, bahwa di Jawa, bahkan di gubuk-gubuk miskin, di antara orang-orang yang tak terpelajar, “kamu akan bertemu banyak pujangga dan seniman”. Sebab menurut Kartini, “orang Jawa dan puisi saling terjalin begitu erat”. Sebagai “bangsa yang memiliki rasa pada puisi…”, bangsa itu “tidaklah rendah dalam peradaban rohaninya”.
Ada sikap melebih-lebihkan di situ: sebuah idealisasi masyarakat Jawa, mirip dengan idealisasi lanskap Nusantara dalam lukisan-lukisan “Mooi Indie”. Tapi ada juga sikap defensif. Stella seakan-akan bagian dari perlakuan yang menganggap rendah “peradaban rohani” orang Jawa; dengan kata lain, bagian dari laku tak adil orang Belanda.
Sikap defensif itu muncul tak hanya di situ. Tulis Kartini dalam surat bertanggal 23 Agustus 1900, “…jangan pernah mengatakan kalau orang Jawa tidak punya hati”.
Saya kira sikap kepada Stella itu datang dari kesadaran yang jamak dalam kondisi kolonial: bahwa sang “bumiputra”, termasuk Kartini, berada terus menerus di dalam “pandangan” orang Eropa – dan bahwa identitas dan harga mereka ditentukan oleh “pandangan” itu dan oleh cara menghadapinya.
Kadang-kadang Kartini dengan jinak menurut. Ia merasa dirinya tak berhak menyebut diri “jeffrouw”. Ia menerima pandangan bahwa orang Jawa memerlukan orang Belanda yang akan “mengulurkan tangan” untuk “mengangkat”-nya (surat bertanggal 13 Januari 1900) – variasi lain dari gambaran imperlalisme sejak abad ke-17 tentang “the white man’s burden”. Kita juga tahu kritiknya kepada masyarakat di Jawa, yang meletakkan perempuan dalam posisi terkurung.
Tapi tak jarang ia menampik dan mengelak, menyadari bahwa “pandangan” Eropa itu tak pernah tepat. “Berapa pun lamanya orang Eropa tinggal di sini, namun mereka tak akan pernah tahu benar-benar hal yang ada di Jawa sini seperti kami”. (6 November 1899).
Ia pun menertawakan prasangka dan sterotipe yang tak jarang dipakai orang Eropa untuk melihat orang Jawa, seperti ketika ia menyebut seorang professor dari Jena yang “menyangka kami masih setengah liar dan ternyata…kami tidak lebih dari orang-orang kebanyakan”.
Ia sadar bahwa ia dan adik-adiknya mendapat perhatian orang-orang Eropa itu, karena gadis-gadis pintar dari Jepara itu ganjil, eksotis, tidak normal dalam ukuran Eropa:
Aku yakin orang tidak akan memberikan seperempat perhatian mereka kepada kami [seandainya kami tidak] memakai sarung dan kebaya, melainkan gaun; [seandainya] selain nama Jawa kami, kami mempunyai nama Belanda…(9 Januari 1901)
Ada sarkasme yang halus dalam kalimat itu: kepedihan sebuah obyek. Dan tak hanya itu. Dari sepucuk surat di awal Januari 1900 saja sudah terasa kemarahan Kartini ketika ia menceritakan bagaimana orang bumiputra diperlakukan hina oleh pejabat-pejabat Belanda, bagaimana pula apartheid dalam penggunaan bahasa meletakkan tiap orang ke dalam satu klasifikasi yang represif.
Tulisnya tentang seorang pemuda terpelajar Jawa yang diberi tempat terpencil oleh Residen Belanda sebagai semacam hukuman: “dia telah belajar mengenal hidup, bahwa tidak ada yang lebih baik…dalam melayani orang-orang Belanda selain daripada merangkak bergumul debu dan jangan bicara bahasa Belanda sepatah kata pun bila dekat mereka…”.
Rasa marah yang terpendam seperti itu, tapi juga rasa tergantung dan kagum kepada mereka yang datang dari Eropa, “sumber peradaban, sumber cahaya”, adalah ambivalensi yang berlanjut terus sampai tahun-tahun terakhir hidupnya.
Agaknya tak mudah menentukan sikap di sebuah masyarakat kolonial yang menyaksikan kekalahan bangsa sendiri dengan pedih. Mungkin pula banyak hal tergantung dari momen dan dari persona Kartini dalam sebuah proses yang berbeda.
Demikianlah dalam sepucuk surat di bulan Oktober 1902, kepada sepasang suami-istri orang Jerman ia menulis “Kami tak mengharapkan dunia Eropa akan membuat kami lebih berbahagia…Saatnya telah lama lewat ketika kami secara sungguh-sungguh yakin bahwa Eropa adalah satu-satunya peradaban, tinggi-luhur dan tak tertandingi”. Tapi dalam surat yang murung bertanggal 25 April 1903 ia masih mengatakan kepada Stella: “Kau tahu kalau dari dulu, hingga kini, salah satu mimpi terbesar kami adalah pergi ke Eropa untuk melanjutkan pendidikan kami.”
Mungkin ini membingungkan – tapi ambivalensi adalah awal dari nasionalisme Indonesia. “Nasion” dikonstruksikan sebagai bagian dari dorongan modernitas (yang sangat dirasakan Kartini), dan juga sebagai posisi defensif. Bangsa dibentuk untuk melampaui lokalitas dan kekolotan yang menjepit, dan juga untuk merespons pandangan panoptik Eropa yang menguasai discourse. Identitas pun dirumuskan, dan identitas pada dasarnya adalah persona.
———————————-
*Naskah ini pertama kali ditayangkan sebagai kata pengantar untuk buku Aku Mau…: Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar) yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas bekerjasama dengan IRB Press (April, 2004)

kembali pada gunanya rhino di situ

sebenarnya aku sudah bosan dan terlebih lagi, sangat muak dengan masalah survey. jika aku lebih menyukai jalan aman tak berduri, mungkin hanyalah escape dari acara survey. kemarin sekembalinya dari lokasi, sebenarnya aku berniat untuk segera menulis, tetapi aku masih banyak berpikir dulu siapa tahu bisa aku edit setelahnya. tapi masih saja aku bisa mengingat detil yang akan aku tulis.

pertama, tentang kelengkapan berkas, yang membuatku selalu berpikiran buruk untuk mempertanyakan fungsinya rhino di situ. aku selalu saja diberi berkas yang pastinya ketika di lapangan akan dipertanyakan kembali oleh tim teknis, bahwa berkas yang kurang lengkap kok diloloskan begitu saja. aku merasa lebih malu lagi karena ungkapan itu dikeluarkan di depan pemohon ijin yang semakin membuatku terlihat bodoh di depannya.

lalu tentang brieffing sebelum berangkat survey. jika diperlukan, bukankah akan lebih baik brieffing itu dilakukan sebelum berangkat mengantarkan tim ke lokasi? bagi aku yang bukan ahli survey, sebenarnya akan sangat menghargai dan mengharapkan hal itu dilakukan, maka itu aku ingin sekali dibrieffing sebelum diharuskan berangkat survey. kurasa jika aku katakan lebih lanjut tentang brieffing, akan semakin terlihat betapa bodohnya aku, mengharapkan hal yang sangat mustahil, karena bagi sebagian besar teman sekantor, pastilah sudah sangat ahli dalam hal survey. mungkin memang sebaiknya aku diam saja, memendam semua perasaan tidak puas ini dan hanya mampu untuk menuliskannya.

jika masih mungkin bagiku untuk dimasukkan ke tim survey, apakah aku terlalu banyak permintaan? apakah aku termasuk orang yang susah bekerja sama atau orang yang tidak berkompeten? aku merasa cukup kemarin saja terakhir kalinya aku ditugasi, tapi bagaimana jika masih ada hari esok untukku mendapatkan tugas itu lagi? apa yang patut aku lakukan sebelumnya? aku sebenarnya sudah lelah dan muak, aku ingin mengerjakan tugas rutinku saja, tanpa terlibat lebih jauh dengan masalah. aku ingin mencari ketenangan.

April 15, 2013

bertemu denganmu

semalam aku bertemu denganmu. meski hanya dalam mimpi, tapi jelas tergambar itu dirimu. aku kembali pada kenyataan bahwa mungkin memang benar masih ada, rasa itu dalam diriku. bahwa aku masih menyimpan sebersit rindu. hanya untukmu. meski sungguh susah untuk menghapus seluruhnya, bilur perasaanku padamu tetap ada.

April 04, 2013

entahlah

entahlah,
aku merasa kesal
tapi juga senang mendengar berita kartu halo sudah bisa dipakai
tapi aku tidak tahu juga kenapa masih belum bisa aktif di hp-ku
aku sudah capek menunggu, seringnya aku ingin menyimpan artikel yang sudah aku buka
semantara jika aku buka di kantor, aku ingin mengirimnya lewat email,belum tentu bisa.
aku rasanya benar-benar ingin marah
kesal sekali rasanya
sampai kapan aku harus tergantung begini
tanpa bisa berbuat apa-apa
kukira langsung secara otomatis aku bisa menggunakannya
tetapi kenyataannya, aku harus terus menerus menahan diri untuk tidak membaca artikel terbaru yang kuinginkan, dan menyimpannya
dan apa yang bisa aku lakukan??
aku hanya bisa menggerutu, meresahkan sesuatu yang aku tahu sebenarnya tak perlu
aku jadi terlalu melebih-lebihkan yaa??
tak ada yang bisa aku ajak bicara untuk share masalah ini

jika aku membuka hal ini keluar, aku tahu mungkin aku hanya dijadikan bahan tertawaan saja
sebaiknya aku tetap diam
dan dengan deru cn blue di telingaku
aku berharap kekesalan demi kekesalan itu bisa jauh menguap ke atas
sambil aku menunggu saatnya aku bisa menggunakan hp-ku
ah, rasanya tak pantas jika aku bilang aku terlalu mengkuatirkan sesuatu yang tak perlu
aku harusnya bisa meredam emosiku

y, why?

aku tak menyadari kehadiranmu. tiba-tiba saja kau muncul di depanku, sementara aku masih terpaku di depan layar dan jemariku masih menari di atas keyboard. aku agak susah untuk peduli dengan sekitar jika aku telah menemukan sebuah topik baru untuk kutulis. jadi sejenak aku membiarkanmu berdiri di situ, sampai akhirnya kamu sendiri buka suara,
"kau ini, tak sadar aku sudah lama menunggu perhatianmu." aku hanya tersenyum, mendongak dan melihat ke arahnya, karena aku telah hafal dengan suaranya.
"hmmm ya, ada apa?" balasku malas-malasan, karena itu berarti aku harus menghentikan untuk sejenak tarian jemariku dan tarian kata-kata di kepalaku.
kulihat dia mengulurkan sebuah bungkusan ke arahku,
"makanlah. aku tahu kamu pasti di sini dalam kondisi belum makan."
"kebetulan sekali, aku memang belum makan, dan aku tak mau bersusah-susah menghentikan kata-kata yang berlompatan di dalam kepalaku."
"sedang menulis apa?" pertanyaanmu tak perlu kujawab karena sudah terputar ke arahmu layarku itu, sementara aku begitu saja melahap isi bungkusan yang diulurkannya tadi, tanpa banyak mengeluarkan kata-kata pembukaan padanya. seolah aku telah terbiasa dengan hal semacam ini. dan bukannya aku memang telah terbiasa dengannya? mungkin hanya di tempat ini saja, saat-saat kami berdekatan seperti ini, saat aku merasa tak perlu membohongi diriku sendiri bahwa aku merasa sangat senang berada di dekatnya.
"kau ini saat makan apa memang harus sambil membaca?" tiba-tiba kata-katanya meluncur begitu saja sembari merebut buku tipis rielke dari tanganku.
"ya, karena aku tak tahu harus aku apakan makananku jika aku sedang mengunyah." balasku sambil mencoba merebut kembali buku itu. aku tak sadar ternyata dia memperhatikan aku saat aku makan sambil membaca, kukira dia sudah asyik melotot di depan layarku.
"ah kau jadi merusak selera."
"kebiasaan yang tak patut untuk kau lanjutkan. sebaiknya mulai dihentikan."
"ya, sama dengan aku sekarang jadi menghentikan makanku, karena aku sudah kenyang." jawabku kembali sambil meletakkan sendok. aku masih mencoba membereskan sisa makananku saat dia menarik bungkusan sisa itu ke hadapannya, dan dengan santainya dia mengambil sendok, lalu mulai makan. aku agak melotot melihat perilakunya, hampir tak percaya sampai aku masih berusaha mengumpulkan kata-kata yang nantinya sesuai untuk kuucapkan dalam menghadapi kenyataan di hadapanku, kenyataan bahwa dia dengan cukup sadar dan ketenangan yang pasti memakan sisa makananku tadi.
"a a apa yang kau lakukan dengan sisa makananku?"
"kau tak lihat aku juga makan? wah jika aku tahu kau makan semua ikannya, tadi aku ambil dobel." kata-katanya meluncur begitu saja di sela-sela kunyahannya. aku masih tak percaya dia dengan tenang makan makanan sisaku. membuatku bingung harus mengatakan apalagi padanya hingga dia selesai pada butir nasi yang terakhir.
"sebenarnya aku jarang sekali makan masakan kantin, hampir tidak pernah malah. tapi kali ini aku merasa masakannya lumayan enak. jadi menyesal tidak dari dulu aku mengetahuinya."
"aku, aku tak memintamu untuk membelikan aku makanan kan?" kataku terbata, aku benar-benar bingung harus mengatakan apa.
"besok-besok lagi aku belikan lagi ya. mungkin lain kali harus 2 bungkus belinya. hahaaa ternyata aku menyukai masakan kantin juga." dia berkata seolah ingin mencairkan suasana yang kubuat sendiri menjadi tak nyaman karena keherananku tadi. dia mengalihkan pembicaraan seperti mengubah huruf besar menjadi huruf kecil, hanya dengan sekali klik. harusnya aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal saja untuk mengekspresikan hal itu, tapi aku hanya bengong melihat padanya. sampai tersadar setelah tangannya menggenggam tanganku. lho sejak kapan tangan hangatnya menyukai tanganku?
"tenang saja, aku menyukaimu. apapun kamu. aku senang kok berbagi apapun denganmu, seperti makanan tadi. tapi ngomong-ngomong kamu tak memiliki penyakit tertentu kan?"
"punya, aku punya penyakit insomnia. dan penyebab utama aku sampai menderita insomnia adalah telepon yang berdering pada tengah malam. dan itu adalah darimu." kataku padanya sambil tersenyum.

kembali pada ternyata hanya gonggongan burung nazar

aku merasa sudah muak dengan kenyataan bahwa ternyata di sini begitu besar peran burung-burung nazar mempengaruhi pemikiran setiap sudut manusia penghuni ruangan.
aku baru tahu sebuah kenyataan, begitu piciknya ucapan-ucapan burung nazar itu, bahwa aku mengatasnamakan sebuah acara, meminjam nama, mendongkel jabatannya, dan apalah, tanpa dia ketahui lebih lanjut bahwa sebenarnya aku tak ada maksud meminjam nama tersebut. aku hanya melakukan apa yang telah menjadi tugasku, dan aku berusaha untuk melakukan sebaik-baiknya. meski terhalang rintangan para burung nazar itu.
aku mengerjakan itu berdasarkan tugas dan perintah atasan, aku mengetiknya berdasarkan isi kalimat perintah chief, bukan tanpa alasan. dikiranya aku senang berurusan dengan rhino, sebenarnya jika bisa dihindari, aku juga sebaiknya menjauhi rhino sejauh-jauhnya. membuangnya ke laut jika aku bisa.

aku sudah benar-benar muak disalahartikan, akhirnya sekarang aku lebih senang menggarengkan diriku sendiri, untuk jauh lebih skeptis menghadapi gonggongan burung nazar. aku lebih puas mengatakan gonggongan burung nazar karena bagiku burung nazar itu menggonggong saja bisanya, selayaknya asu. tentu saja selain memakan bangkai, karena memang begitulah kenyataannya.
seperti kemarin saat aku mendapat tugas untuk membuat surat untuk dibawa chihuahua ke divisinya yang baru, aku telah mendengar gonggongan burung nazar yang mengatakan bahwa itu sebuah pengusiran. aku bukannya mengusir, tak pernah sedikitpun hal itu terbesit menjadi sebuah pengusiran. kukira semua manusia normal menyadari bahwa yang aku lakukan hanyalah berdasarkan perintah, berdasarkan ketentuan, bahwa setelah mendapatkan surat pengambilalihan tugas, pasti dilanjutkan dengan surat penghadapan untuk divisi baru. nah, karena mereka bukan manusia, melainkan burung nazar, maka seperti yang aku bilang, mereka menganggapnya sebagai sebuah pengusiran. padahal aku mengerjakan sesuai urutan pekerjaan. yang sebenarnya yang paling menyakitkan adalah itu merupakan tugasku.
kasusnya sama persis dengan daftar hadir. kekosongan nama chihuahua juga dipermasalahkan. padahal pengosongan itu dilakukan sesuai dengan surat alihtugas yang memang tertanggal sebelumnya. hal semacam itu semakin dijadikan bahan pergunjingan, bahan pembuat kesalahan, yang notabene kesalahan ditimpakan pada satu tempat yang sama. padahal sebelumnya tak pernah chihuahua mengisi daftar hadir, bahkan sudah disodorkanpun belum tentu didapat tanda tangannya. jadi mengapa setelah kejadian surat alihtugas, lalu daftar hadir menjadi penting? terlebih lagi menjadi penting untuk dipermasalahkan sebagai bahan untuk membuat keadaan semakin meruncing. jadi si kembar berkesimpulan bahwa sebenarnyalah burung nazar itu sengaja memercikkan api dalam hal ini memancing kesalahan kecil untuk dijadikan sarana penyerangan, sehingga apapun akan tampak salah di depan chief.

akhirnya kita sebagai manusia, mengalah pada gonggongan burung nazar. sebagai makhluk beradab kita menyadari bahwa daripada menimbulkan percikan api, sebaiknya kita mengalah untuk menyiramnya dengan menuruti keinginan mustahilnya. hanya dengan menulis kembali nama chihuahua, redam sedikitlah keadaan. entah hal apa lagi yang akan dipermasalahkan esok.
aku ingin menambah sesuatu hal lagi. tentang rasa malu berada di tengah burung nazar pemakan bangkai. beberapa divisi di luar sana sudah bisa menilai bahwa ada pihak di dalam sini yang memang suka dengan percikan-percikan api, ada pihak yang memiliki corong besar sehingga semua kata-katanya segera terdengar di luar. jadi tentang kebencian yang memuncak padaku, mengapa tak diungkapkan di depanku saja? tapi oleh corongnya yang besar itu, dilontarkan keluar senyaringnya. dan jika sudah seperti itu, aku salah dengan menyebut mereka burung nazar yang menggonggong?

8 indikator kematangan

  1.  lebih realistis.pikiran dan keputusan kita sudah mulai membumi, punya landasan fakta, realita, data. bukan hawa nafsu, tebakan, asumsi, atau keinginan yang utopis.
  2. makin bertanggungjawab. kita mulai lebih sering mengangkat diri sendiri sebagai penentu utama atas langkah kita, tidak mengandalkan atau menuding.
  3. lebih sering memenangkan reason (akal sehat) daripada reaction (reaksi sesaat)
  4. belajar menjadi asertif dalam berkomunikasi, mulai sopan, kuat, tidak agresif atau pasif, bersahabat, tapi tidak lemah.
  5. fleksibel dan terbuka. berpikir terbuka, bukan makin kaku dan gampang menuduh atau menghakimi orang lain.
  6. inkuisitif dan eksploratif. semakin ingin menambah ilmu, pengalaman, ingin meningkatkan kualitas hidup.
  7. intuitif. bisa mengambil tindakan berdasarkan perkembangan keadaan secara intuitif (spontan)
  8. menikmati hidup. bisa menikmati masa lalu, meyakini masa depan, dan menggunakan hari ini seoptimal mungkin dengan mengaktualisasi diri.

Di Tepi Angin

Baru aku tahu kini, rasanya seperti inikah sebuah sepi, sebauh dingin. Kucoba menghalau rasa itu, dingi yang tambah menyesakkan dada, dan aku semakin tersadar, seperti inilah perasaan ditinggalkan. Sepi, sendiri.

Aku sadar, ternyata aku mulai bisa mendefinisikan sebuah kehangatan. Entah karena sekarang aku sedang merindukan kehangatan itu, ataukah memang aku telah lama tahu tapi tak mau tahu.

Ternyata kehangatan itu adalah saat mata kita bertatapan. Adalah saat tanganmu menggenggam erat tanganku. Adalah saat kau mengusap bulir air mata di pipiku. Kehangatan adalah saat kau katakan kau selalu ada untukku. Kau selalu menungguku.

Dan bahkan saat kau jauh namun masih saja merindukan suaraku. Sekali saja tak dapat kau hubungi aku, sudah terbayang di benakku seperti apa kekuatiranmu.

Ah, andai angin saat ini bisa membisikkan padamu tentang kerinduanku, tentang kesepianku, tentang dingin dan rasaku,
tak perlulah aku meresahkan lagi kehangatan yang aku cari kini.

Seperti inikah cinta itu? Jika kau tak ada, dan tak dapat aku raih, rasanya seperti aku menunggu keajaiban bintang jatuh untuk menyampaikan pesan-pesan rindu.

Hanya tanganku yang mampu menuliskan perasaanku, sedang mulutku terkunci, tak mampu ucap satu katapun. Air mataku tak mampu bergulir hanya untuk melepaskan hasratku. Dan kemanakah desir angin itu pergi? Akankah membawa suara kerinduanku sampai padamu?

ponokawan

berikut cuplikan twit sujiwo tejo yang tak ingin aku lupakan begitu saja:

- kerahkan seluruh ponokawan dalam dirimu karena seluruh wayang potensial ada dalam karaktermu.
- tonjolkan gareng dalam dirimu pada saat tertentu di tahun serba gawat ini. gareng adalah rasa skeptis dalam dirimu.
- dengan kegarengan dalam dirimu, kamu akan skeptis buikan cuma ke info-info dari government, bahkan kamu skeptis terhadap info-info LSM, oposan, dll.
- kadang perlu juga kita tonjolkan karakter petruk yang eazy going dalam diri kita, kalau tidak, bisa stress kita menghadapi zaman.
- kadang perlu juga kita tonjolkan ponokawan yang polos dan lugu dalam diri kita, yaitu bagong. goblog-goblogan tapi pertanyaannya mendasar.
- bagaimana komposisi gareng, petruk, bagong dalam dirimu pada ruang dan waktu tertentu, serahkan pada moderator semar dalam dirimu.
- siapa semar dalam dirimu, ia adalah soulmu yang tua sekaligus kekanakan, yang laki sekaligus perempuan, yang suci sekaligus norak.
- yang ketawa sekaligus menangis dalam dirimu.

rhino

tak ada lagi kesan yang ingin aku tulis, karena bagiku semua sudah mulai jelas. begitu jelas aku melihat segala polah yang berujung pada satu titik kebencian yang sukar dibendung. dengan gamblang segalanya nampak penuh rasa ketidakpuasan, penuh dengki, dan bahkan berharap untuk kita merasa kecil hingga jatuh diinjaknya di depannya. siapakah dia, yang begitu pandai membakar yang lain hingga hilang kesan baik terhadap kita. pandai sekali bermulut manis sehingga segala bisa tampak salah di matanya.

di antara kerjaku

di antara beban kerjaku, di antara tumpukan kertas dan buku, masih kusempatkan untuk kutuliskan kesanku terhadapmu. kesan pada pertemuan kita kemarin, kesan pada akhir senyummu, yang begitu saja mudah berganti dengan isakan, bercampur air mata.
andai bisa aku putar waktu, aku akan memutarnya, untuk kuingat dan kuresapi kembali, hanya pada saat itu, hanya pada saat bersamamu.