November 03, 2015

Jika kamu tahu arti sebuah rindu




Entah sudah cangkir keberapa yang kubawa, kusesap perlahan kopiku. Aku melangkah mendekati jendela. Kulihat ke luar, titik-titik sisa hujan yang turun, memantulkan cahaya malam. Membuat bias warna, yang berpendar seakan mengejek mataku yang melihatnya. Aku melamun lagi. Aku hanya merasa kali ini lebih nyaman untuk diam, sendiri di kamar, agar aku tak terganggu dengan keharusan menjawab pertanyaan apapun, atau berbicara mengenai apapun. Aku hanya ingin berbicara melalui hatiku. Mencoba mencerna perasaan yang melandaku. Mereka-reka arti semua mimpi dan selalu bayang yang sama, di setiap terpejamnya mataku. Aku sedetikpun tak sanggup melupakannya.
“Ahh,......” desahku perlahan. Benar-benar aku tak sanggup mengalihkan perhatianku. Gadis itu telah mengaduk perasaanku, berhasil pula membuatku gila karena selalu membayangkan keindahan kenanganku bersamanya.
Sisa kopiku masih terasa pahitnya di mulut, dan selalu ketika aku menyesap secangkir kopi, dalam sendiriku seperti ini maupun dalam keramaian, hanya pikiranku yang liar mengembara menghubungkan kenanganku dengannya. Kenangan indahku yang berawal dari secangkir kopi. Segalanya yang diawali dari secangkir kopi, hingga membuatku merasa seperti orang bodoh, selalu memikirkannya.
Aku terus melamunkannya, sampai kudengar dering sms yang mengusik perhatianku. Dengan malas kuhampiri handphone di atas meja, kulihat sepintas, nomor yang tak kukenal. Tapi kubuka juga sms itu, setengah berharap akan ada keajaiban dia akan mengirim kabar melalui sms tersebut. Aku tertegun dengan pesan singkat yang tertera, dia sedang sakit, tak mampu untuk bekerja, dan mohon ijin tidak masuk. Dari pengurus rumahnya.
Aku seperti keluar dari dunia yang tak nyata, benarkah berita yang aku terima ini? Segera aku hubungi nomor itu kembali, dan memang benar, pengurus rumah, atau seseorang yang mengaku sebagai pengurus rumahnya memberitahu bahwa dia sedang sakit, dan akan segera dibawa ke rumah sakit, sambil kembali mohon ijin untuk tidak datang ke kantor. Dia kira aku adalah atasannya, mungkin. Jadi aku mengiyakan saja semua pernyataannya, tak lupa dengan sedikit bumbu kekhawatiran. Padahal dalam hati aku khawatir, senang, dan rasanya senyumku tak lepas dari wajahku. Aku seperti telah menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang.
Kupejamkan mataku, kuingat-ingat kembali saat-saat bersamanya, segala tentangnya. Aku benar-benar merindukannya. Aku ingin segera pulang dan memeluknya. Tapi mungkin  baru dua hari lagi aku bisa pulang untuk menemuinya.
sungguhpun sebenarnya kabar yang kuterima bukanlah kabar yang baik, namun aku tak urung merasa ringan, merasa sedemikian dekat  dengan pertemuanku dengannya. 
kulangkahkan kakiku dengan ringan menuju studio, tempat teman-teman menungguku untuk latihan sebelum pementasan terakhir di kota ini. seakan mendapat tenaga baru, aku memasuki ruangan dengan sebuah senyuman, membuat orang melihatku dengan tatapan penuh tanya. Segera saja kujelaskan bahwa aku baru saja mendapat kabar baik mengenai dirinya, dan aku berencana menemuinya setelah kembali.




apakah aku bahagia?

mungkin memang sudah menjadi garis hidupku, bahwa aku harus merasakan segala pahit ini sendiri. aku sudah memilih, dan sampai kapanpun aku akan tetap pada pilihan ini. seperti yang dulu pernah aku pikir, bahwa semua ini adalah takdirku. dulu mungkin aku hanya ingin berlindung pada cinta yang ditumpukan padaku, dan seperti apapun harga yang harus aku bayar, aku hanya boleh diam. tak mampu dan tak kuasa bicara.
meski sering hatiku berteriak ingin membela diri, namun apa artinya suaraku, jika akan selalu salah. aku sudah berusaha, untuk segenap pengabdianku, untuk segalanya yang aku berikan, aku hanya meminta balasan sedikit saja, namun jika aku mengatakan hal ini, maka jawaban yang akan aku peroleh sangatlah menyakitkan, bahwa apa yang sudah aku lakukan nampaknya tidak ada artinya sama sekali.
apakah aku bahagia? dan kebahagiaan itu diukur berdasarkan apa? kembali, aku tak tahu. aku mengingat-ingat kembali, apakah ada yang menjanjikan aku kebahagiaan, membuatku bahagia, namun tak satupun ingatan tentang hal itu yang kudapat. atau memang tak ada yang bermaksud ingin membahagiakan aku?

ingatan

Kadang jika kita mengabadikan sebuah ekspresi yang membuat kita terluka,maka luka hati itu pasti akan abadi pula. Sesuatu yang sebenarnya tak patut untuk kita simpan dalam ingatan,karena tak indah,hanya menimbulkan luka, dan bahkan menyakitkan.
Semakin kita terluka,maka hati akan semakin pandai membuat pengandaian,menciptakan indah dalam angan, dan segala yang akan membuat kita terhibur. Maka selalu bergaung sebuah tanya,yang terlontar oleh seseorang, mengenai apakah aku bahagia?