November 23, 2016

kali ini adalah curhat beneran

masih melulu tentang devil. aku sampai geleng kepala jika merasakan mengenai hal ini. betapa susahnya menghadapi kenyataan jika dihadapkan padanya.
aku sudah merasa menghindarinya, berbicara seperlunya, jika memang ada perlunya saja, menanggapi seperlunya saja, aku sudah mengembalikan apa yang sudah bukan hakku lagi, aku merasa sudah melakukan seluruh tugasku, berusaha untuk selalu mengerjakan dengan sebaik-baiknya, berusaha untuk tidak larut dan terpengaruh dalam pikiran negatif yang ditimbulkannya, dalam sindiran kata-katanya, namun masih saja SEMUA ITU BELUM SELESAI. aku perlu menambahkan capslock karena aku sudah benar-benar malas menghadapinya. semua serba salah saja di matanya.
mulai dari awalnya diungkit-ungkit tentang jasa yang sudah dilakukan, tentang barang yang sudah diberikan, tentang jasa dalam mengikutkan aku dalam mendapatkan penghasilan yang lebih, aku sakit hati denga hal itu. apa aku salah? rasanya seperti menjilat ludah sendiri, kok tidak ikhlas begitu ketika beramal.
lalu tentang perhiasan yang aku pakai, yang malah membuat sindiran tak nyaman didengar. dikiranya mau menyaingi. waduh, kalimat apa pulak itu? aku tak ada seujung rambutpun niatan untuk menyaingi. jika merasa akhirnya tersaingi, bukankah itu berawal dari pikiran sendiri yang tidak senang jika teman lain memakai hal yang sama, memakai barang yang sama. lalu jika aku bilang hal itu adalah jealous, aku salah?
lalu tentang aku mengembalikan inventaris kantor, salah lagi? aku memang sudah berniat mengembalikan inventaris kantor itu, karena tahun depan saat akan pergantian atau pergeseran unit kerja, lambat laun pasti aku kalah posisi, dan pasti harus aku kembalikan. lalu jika barang sudah aku kembalikan, maka itu salah? menyinggung perasaan? gak menyinggung perasaan gimana cobak, jika disindir dengan kata-kata bahwa selama ini sudah diusahakan diberi tambahan penghasilan, tapi balasannya seperti itu? lha kata-kata yang sudah terlanjur aku dengar itu, sudah terlanjur menyakiti hatiku, lalu aku yang salah?
lalu tentang aku yang emang lagi ngomongin soal ujian anak-anak di rumah, lalu langsung saja dituduh nggosip, aku yang salah? siapa sih yang selalu punya pikiran buruk begitu? apa menyehatkan? padahal aku malah sedang membicarakan hal yang jauh darinya, dan siapa yang sudah berpikiran negatif dengan mengatakan aku nggosip? keren sekali sikapnya. hanya karena devil atasan, lalu yang berhak sakit hati dia saja? aku tidak berhak? bagaimana tentang mengelap-lap barang dan jasa yang sudah diberikan itu? mengharap balasan seperti apa? kok aku dituduh jika ingin diperlakukan seperti manusia, tolong untuk memanusiakan orang lain, lalu bagaimana dengan sindiran-sindiran yang setiap hari beterbangan di dalam ruangan hingga membuat ruangan terasa gerah? bagaimana dengan perasaanku? aku masih salah?
lalu tentang si kecil itu. salahkah jika aku merasa dirugikan dengan sikapnya? sikapnya yang sungguh kekanakan karena laporan-laporannya pada devil? setiap kata, setiap tindakan, walau devil tak ada, lalu terdengar olehnya, lalu anginkah yang memberitahukannya? apakah angin  akan selalu membawakan segala yang dilihat dan dirasakannya? sungguh tak masuk akal jika angin akan melaporkan semua yang dilihat dan didengarnya.
kini jika aku sudah tak lagi dekat dengan si kecil, enggan aku berakrab dengan si kecil karena aku tahu segala yang aku katakan, segala yang aku lakukan, akan sampai padanya. aku baru menyadari saat si kecil tiba-tiba saja tanpa sengaja mengakui tentang apa yang sudah dilakukannya. lalu jika aku katakan hal semacam itu menyakitkan aku, aku salah?
lalu tentang kunjungannya pada pp. jika aku pertanyakan untuk apa sampai melakukan hal semacam itu, aku yang salah? aku mencoba untuk melihat kembali diriku sendiri, mungkin memang aku yang salah, mungkin karena aku sudah susah sekali untuk dibina, maka yang bertanggungjawab membinaku adalah pp. aku mencoba untuk melihat dari sisi aku melakukan hal apa yang menurutku masih belum selesai kukerjakan, belum benar yang aku kerjakan, dan yang sudah aku katakan selama ini. tapi bukan harus dengan laporan ke pp juga kan? mengapa harus memarahi orang ketika ada banyak orang, mengapa harus mengadukan orang lain pada orang yang seharusnya berada di luar lingkaran. apa aku sudah demikian salahnya sehingga susah untuk diperbaiki?
mungkin jalan yang harus aku tempuh demikian adanya. aku harus kembali merasakan kepahitan demi kepahitan ini. aku enggan untuk mengelap-lap kesalahan siapapun. aku hanya ingin melanjutkan ke depan saja, melupakan untuk selalu menoleh ke belakang, apalagi pada kesalahan yang telah lampau. masih banyak yang harus aku perhatikan. jika aku selalu saja menanggapi semua ini sebagai salahku, percuma. aku sudah malas untuk berdekatan lagi. aku ingin selalu fokus pada mencari hiburan saja, agar hatiku terhibur dan tidak lagi merasa sendiri.

November 20, 2016

kau takkan terganti

aku mendesah perlahan, memutar mobilku di tikungan menuju kantor. masih sepi. selalu berharap aku masih awal memasuki tempat parkir, masih banyak tempat kosong yang bisa aku pilih, sudut favoritku yang pasti menyenangkan bagiku, dan yang penting, tidak ada yang tahu aku ke kantor membawa mobil-karyawan magang masih dilarang membawa mobil ke kantor.
ah, sudut itu masih kosong, aku meluncur menujunya. ada mobil sport silver berhenti tepat di sebelah aku memarkir mobilku. aku mengatur nafas dan sedikit terkejut memikirkan bagaimana aku harus keluar dari mobil. aku membereskan tas dan bawaanku ketika aku mendengar ketukan pelan di jendela. aku menoleh, dan jantungku seperti mau lepas. mataku mengerjap panik saat kulihat Taka tersenyum melambaikan tangannya ke arahku.
"a a aku mau segera masuk ke ruangan. aku duluan"
"tunggu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
aku segera keluar dari mobil, menghindarinya, dan berusaha mendahuluinya, namun Taka sudah terlebih dulu menahan pergelanganku agar aku berhenti. dengan sangat gugup, tak kuasa menahan panik, dan jantungku yang berpacu karena aku benar-benar ingin segera berlari menjauhinya, aku berdiri menghadapinya. dia mengajakku untuk berjalan berdua menuju ruang kerja.
"kita bisa bicara sambil berjalan. mau kubantu membawakan tasmu?", Taka dengan sangat manis menawariku bantuan. aku menggeleng pasrah.
"aku juga ingin memberitahumu sesuatu, tapi hanya belum sempat saja.", aku mencoba bersikap biasa, mencoba menutupi kepanikanku.
"atau kau ingin kita makan siang di luar saja, agar lebih leluasa bicara?", aku merasa Taka agak berhati-hati dengan hal yang diucapkannya.
"ya, aku usahakan bisa makan siang denganmu.", aku berjanji padanya. aku hanya ingin menjelaskan mengenai ayahku, mengenai statusku, tak lebih. itu yang aku pikirkan untuk kuberitahukan padanya.
setengah hari selanjutnya aku masih meresahkan kalimat yang akan aku ucapkan kepada Taka. aku selalu berusaha menghindarinya, merasa benar-benar tak enak hati karena aku sudah menolak perasaannya. saat ini aku merasa seperti pencuri yang ketahuan. maka itulah aku resah memikirkan kejujuranku yang harus segera kuakui.
saat makan siang di luar kantor.
"kau cerita duluan." dengan sopan Taka mempersilakan aku. aku menggeleng."Kau saja."
"aku sebenarnya ingin minta maaf padamu. aku tahu kamu menghindari aku karena tak enak hati dengan penolakanmu. please, jangan bersikap begitu. aku masih ingin menjadi temanmu." Taka begitu lancar mengucapkan kalimat demi kalimat sambil sesekali mengaduk isi gelasnya.
sedang aku begitu resah memikirkan kata-kata agar tidak membuatnya tersinggung.
"mmm harus kumulai dari mana ya? mengenai ayahku, aku sudah bertemu dengannya. aku hanya memakai fasilitas yang diberikan kepadaku. maaf jika aku baru memberitahumu sekarang. aku hanya tidak ingin kamu salah sangka kepadaku."
"aku tidak masalah dengan hal itu. aku tahu kamu pasti bahagia sekarang. terlihat dari sikapmu kok. aku tahu." tanpa terasa kalimatnya membuatku tertunduk dan malu. mungkin aku sedikit tersipu.
aku melamun, teringat Yonggi. seperti apa kabarnya. apa mungkin dia akan merasa senang jika bertemu denganku lagi, saat keadaanku sudah berubah.
"kau melamun lagi" suara Taka membuyarkan ingatanku tentang Yonggi. aku menunduk. memang aku sedang melamun.
"tolong pegang rahasia ini, Taka. aku tak mau membuat heboh kantor. mengertilah."
"ya. aku janji. kita memang sama-sama memiliki rahasia. aku hanya berharap kau mau berbagi tak hanya rahasiamu denganku." kalimatnya yang terakhir begitu lirih hampir tak kudengar. tapi aku mendengar, dan dalam hati aku mengingkarinya.
aku masih belum bisa mengganti seseorang yang menghuni hatiku. setidaknya untuk saat ini, aku masih menyimpan Yonggi di dalam hatiku. aku masih berharap dia akan kembali padaku.

gak bosan ya, mengumpat si devil?

hadeh, serasa berada di dapur dengan oven terus menyala, sumuk hawane. lagi-lagi devil. sebenarnya apa sih yang dilakukan devil yang membuatku selalu merasa enggan di dalam ruangan.
selalu saja tidak ada yang benar yang aku lakukan. masa sih, hanya beli beras di tempat yang sama, dengan harga yang sama, lalu dibilang beli berasnya aja kok di tempat yang sama, apa bermaksud menyaingi? apalagi jika aku memakai perhiasan, memakai jam tangan yang agak mahal, baju yang terlihat mahal, pasti langsung menjadi bahan omongan, dikira aku ingin menyaingi. haaaa????
aku hanya memakai perhiasan, salah. aku memakai jam tangan yang kebetulan seharga 1 juta lebih, salah. aku memakai tas baru, salah. aku membeli beras di tempat yang sama dengan harga yang sama dengan yang dia beli, salah. aku tidak apel, pasti salah. lha iya dong, tidak apel itu adalah sebuah pelanggaran. tapi jika yang tidak apel adalah si twin, apa juga sebuah pelanggaran? tidak.
apa bedanya? mungkin hanya beda dalam tingkat kesayangan saja.
siapa yang belum ditemukan salahnya oleh devil? tidak ada. mungkin hanya twin saja. hanya karena untuk menutupi tingkat kesayangan yang aku maksud tadi, karena lebih besar kesayangannya.






merindukanmu

kepalaku terasa berat sejak aku berangkat kerja. semalam terasa mimpi yang aku rasakan begitu nyata. aku masih saja mabuk dengan halusinasi bahwa kau ada, dan merindukanku pula. aku merasa mendengar bisikanmu, memanggil namaku. akhirnya pagi tadi dengan segala keresahan yang aku rasakan, kepalaku berdenyut seperti dipukul-pukul palu.
sambil memijit kepalaku seakan mampu meredam hantaman palu di kepalaku, aku berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerja. tadi selama di dalam lift pun aku mencoba untuk tidak bereaksi dengan sekitarku. aku ingin segera berlalu begitu saja dan segera duduk di meja kerjaku. sepintas kulirik taka di seberang mejaku. dia sedang sibuk dengan tugasnya. untungnya dia tidak memperhatikanku.
masih tergambar dengan jelas dalam tidurku semalam. aku seperti merasakan keresahan yang luar biasa dari Yonggi. dia seperti merintih dengan duka di hatinya, sambil  memegang dadanya, dia membisikkan namaku. aku bahkan melihat air mata menetes dari sudut matanya. dalam hati aku bisa merasakan kalimatnya, aku merindukanmu, diulang-ulang dia bisikkan ke arahku.
aku terbangun dengan peluh membasahi baju tidurku. aku seperti terlempar dari dunia lain. aku terengah-engah menatap nanar ke sekeliling, seakan mencari dimana Yonggi. berharap dia hanya beringsut ke ruang sebelah atau apa, namun aku sadar aku hanya berhalusinasi. hal yang malah membuat kepalaku semakin berat.
dengan tangan masih sesekali memijit kepala, aku pamit ke toilet. aku merasa tatapan mata taka mengikutiku. dan ternyata memang iya. sebentar kemudian di depan pintu toilet aku mendapati dia menghadang langkahku.
"kau tak apa-apa?"
"tidak. aku hanya kurang tidur semalam, sekarang kepalaku terasa agak berat." aku beringsut berlalu ke dalam toilet. sebenarnya aku benar-benar risi dengan perhatiannya yang menurutku tidak perlu. aku sudah pernah menolaknya, seharusnya dia menghindariku juga, namun yang terjadi malah sebaliknya. dia masih saja menaruh perhatian yang besar terhadapku. hingga aku sendiri merasa tak enak dibuatnya.
di dalam toilet, kuambil ponselku, setelah kubuka, sesaat yang melintas di benakku hanyalah kerinduan untuk mendengar suara yonggi. aku masih membayangkan, kira-kira reaksi yonggi seperti apa jika aku menelponnya, ketika tanganku ternyata tidak sejalan dengan otakku, tiba-tiba saja aku sudah menekan tombol call, dan sudah tersambung dengan yonggi. sedikit tergagap kutempelkan ponsel ke telingaku dan kudengar suara yonggi di seberang,
"hallo."
sapaan singkat yang mampu melipatgandakan deburan jantungku. kembali aku mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya,
"hai." hanya itu yang sementara bisa aku suarakan padanya. setelahnya kudengar kalimatnya lagi,
"im in the midle of practicing. "
"sorry." sahutku.
"its ok. time for break, huh. so what is up?" sepertinya dia pun enggan untuk memutus telepon.
"aku hanya....aku hanya...." kalimatku menggantung karena aku sendiri bingung harus mengatakan apa, karena tak ada kalimat lain selain "aku merindukanmu".
"aku bermaksud ke tempatmu, bisakah kau sms alamatmu?" kalimat yonggi terasa tajam menembus jantungku. aku terbata saat mengiyakan, "i...iya" dan malah tak terasa aku sudah membungkuk seperti dia berada di depanku saja.
"ok. i'll wait. see you then." dia menutup telepon lebih dulu.
tak pernah kubayangkan semudah itu bagiku untuk menghubungi dan mendengar suaranya lagi. ternyata setelah aku bertemu dengan hyung beberapa waktu lalu, mampu mengubah kenyataan dalam hidupku. hal yang semula hanya aku bayangkan, kini aku merasa mulai mendekati kenyataan.
tak terasa aku tersenyum ketika keluar dari toilet, dan terlambat menyadari bahwa taka masih berdiri menungguku. mungkin taka melihat ada binar bersinar di mataku.
"kau kenapa? sebentar tadi kau terlihat sakit, sekarang sudah baikan?"
"o...oh... iya. aku baru saja mendapat kabar baik." sahutku berbohong. jika bohongku kali ini ketahuan, tak apalah. aku merasa lega dan begitu bahagia.