Mei 30, 2016

Pertemuan itu ternyata mengubah segalanya



Aku tergesa keluar dari convenient store, merasa sudah memasukkan semua barang yang aku butuhkan, kubayar dengan tergesa, dan ingin segera berlalu melawan dingin. Bergaul kembali dengan pemanas di dalam mobil, pulang, lalu kopi. Kehangatan yang selalu aku bayangkan dalam benakku untuk mengusir pikiran-pikiran tak menyenangkan tentang sebuah kenangan manis.
Kumasukkan barang ke jok belakang, kututup pintu mobil, lalu kulihat seseorang mengawasiku. Aku mengingatnya, meski dia sekarang tampak beda, ada kesan cambangnya yang tidak terurus, membuatnya terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya yang masih seumuranku.
“hyung, apa kabar?”, aku menyerah untuk berpura-pura tidak mengenalnya, karena dia sepertinya menelitiku dari jarak dekat. Akan sangat ganjil jika aku berlalu begitu saja, mengingat dia memang teman baikku yang juga pernah sering membantuku.
“bisa kita bicara?”, ajaknya.
“ya, baik. Dimana? Tahiti cafe? Aku tunggu di sana.” Aku masuk ke mobil tanpa mencoba menawarinya tumpangan. Aku tak tahu dia berada di situ sejak kapan dan dengan kendaraan apa. Aku hanya ingin bertanya beberapa hal, memastikan sesuatu tentang seseorang, lalu kembali berlalu.
Di dalam cafe
“aku benr-benar kehilangan kontakmu. Aku juga tak tahu kamu kembali ke kota ini.” Dia mengawali pembicaraan. Sejujurnya aku ingin dia tahu begitu saja tanpa aku menjelaskan kondisiku, tapi akan sangat tak mungkin, membuatnya mengerti kondisiku tanpa penjelasan dariku. Akhirnya aku ceritakan jika aku telah menemukan ayah kandungku, aku sudah bekerja di perusahaannya, meski masih sebagai pegawai magang, dan aku yang sudah menempati rumahku sendiri. Aku hanya merasa kesepian sekali, karen teman kantor tidak boleh mengetahui statusku, sementara teman kuliahku terbatas, membuatku sering hanya diam di rumah.
“asal kamu tahu, Yonggi merindukanmu. Hari-harinya begitu payah. Dia selalu merasa kamu akan kembali padanya. Dia bahkan sudah berani melawan direktur hanya karena dia tidak suka dengan kelakuan anaknya.” Kalimat ini membuatku terpana. Selama ini aku sudah mencoba untuk mengubur dalam-dalam perasaan rindu kepada Yonggi, perasaan bahwa aku tak mungkin memilikinya, hingga harga diriku yang sudah aku pertaruhkan ketika aku menerima uang dari anak direktur untuk memutuskan hubunganku dengan Yonggi. Aku merasa tak pantas lagi mengharapkan kerinduan itu berbalas. Aku tak sanggup menjawab kata-kata hyung.
“dia mencarimu. Sering aku temukan dia sedang mengulang-ulang kembali mv yang kalian buat di Jepang itu, hanya untuk melihatmu lagi. Sepertinya dia sangat tersiksa dengan hilangnya kamu dari kehidupannya.”
Aku menunduk. Kumainkan sendok di dalam cangkirku yang sudah setengah kosong. Aku ingin mengaduk kopi itu, seperti mengaduk perasaanku, agar sebersit rindu itu tak menyerang mataku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak berkaca-kaca, membayangkan Yonggi yang duduk diam melihat mv yang pernah kita buat itu.
“tolong hubungi kembali Yonggi. Ini kontaknya. Kuharap kamu benar-benar mau kembali padanya, dan perbaikilah hubungan kalian. Aku melihat kalian cukup serasi.” Dia menyodorkan ponselnya dimana tertera nomor Yonggi di bawah fotonya. Aku terbata untuk segera mengkopi nomor-nomor itu. Belum tahu akan kuhubungi atau tidak, tapi aku berharap nomor itu akan berdering di ponselku juga.
Kamipun meninggalkan cafe. Kembali ke tujuan masing-masing.
Aku bergegas pulang. Aku tak memikirkan satu tempatpun yang bagiku nyaman untuk aku menumpahkan perasaanku selain kepada bantalku. Jadi akupun mengendarai mobil menuju rumah. Hingga tiba di rumah, aku letakkan begitu saja belanjaanku, langsung menuju kamar, dan kutumpahkan tangisku di bantal. Aku menangis sepuasnya dengan segala ingatan indah bersama Yonggi. Seakan dia pasti akan merasakan perasaanku saat ini.
Entah sudah jam berapa saat aku tersadar. Kamar dan rumahku masih terang benderang. Aku tadi langsung menuju kamar, tanpa melakukan kebiasaan sebelum tidur. Waktu menunjukkan sudah dinihari. Aku berjalan menuju dapur, minum, lalu melangkah ke ruang duduk. Kepalaku berdenyut-denyut sakit, saking lamanya aku menangis hingga tertidur. Aku melamun beberapa saat untuk kemudian kembali ke kamar dan bergelung kembali di bawah selimut.
Esoknya aku bangun kesiangan. Dan hal pertama yang aku sadari adalah menelpon Taka, teman kerja seruangan, teman baik, dan teman yang sudah pernah menyatakn perasaan sukanya padaku, agar aku bisa ijin tidak masuk dengan alasan sakit. Aku memang sakit sekali, kepalaku sakit seperti dihantam palu, dan rasanya sangat berat untuk duduk ataupun berdiri.
Seperti biasa, jika aku mengatakan sesuatu yang agak buruk mengenai kesehatanku, selalu kudengar nada kuatir yang agak berlebihan dari Taka. Mungkin karena dia menyukaiku, jadi aku tak boleh terluka sedikitpun. Dia mengkuatirkan sesuatu yang tak perlu, batinku. Aku berusaha untuk terdengar tidak terlalu menderita, hanya flu dan sakit kepala sehingga harus istirahat, jadi minta tolong untuk disampaikan kepada kepala ruang. Tak lupa aku berjanji padanya untuk pergi ke dokter, agar dia tidak melacak, dan bertandang ke rumahku. Aku masih belum menceritakan tentang diriku yang sebenarnya kepadanya, jadi aku buat seolah-olah tidak mencurigakan.
Aku menghabiskan menit berikutnya menelpon ayahku, yang memastikan kedatangannya sore nanti, dan pengurus rumah yang akan segera dikirim ke rumahku untuk membuatkan aku sarapan. Ah, hanya karena aku menangis semalam, semua orang terdengar sangat repot mengkuatirkan aku. Akhirnya aku berhenti menelpon. Lebih baik menikmati liburku daripada sibuk mendengar kalimat tak perlu yang serba membuatku merasa seperti anak kecil yang tak mampu apa-apa.
Kembali aku bergelung di bawah selimut, kuingat-ingat kembali pertemuanku dengan hyung semalam, bahwa hyung bercerita Yonggi masih mengharapkanku.
Aku mendesah, resah, ingin rasanya aku menelpon dia. Tapi aku bingung mengawali pembicaraan.  Aku terlonjak kaget dari lamunanku ketika bel berbunyi, disusul bruk brak suara pengurus rumah yang dikirim ayahku. Sepertinya dia langsung menuju kamarku. Derap langkahnya terdengar dari dalam selimutku.
“sarapan apa pagi ini, nona?”
“apa saja yang hangat, Bi. Aku ingin kopi.”
“mengapa saat kedaan kurang sehat malah minum kopi?”
“aku merasa lebih enakan jika minum kopi. Tolong jangan lupa kopinya, ya. Please!”
Dia segera berlalu.