Hari ini harusnya aku bersyukur, bahwa aku masih bisa
menikmati hari, masih bisa ngantor, dan lain-lainnya. Namun apa daya jika di
kantor pun mulai terasa ketidakenakan itu.
Setelah berjuang dengan dingin, dan mencari spot parkir
terbaik menurutku di basement, aku mulai bekerja seperti biasanya, secangkir
kopi di mejaku. Itupun setelah aku dengan terpaksa membuatkan kopi untuk teman
seruanganku. Aku mulai mengerjakan apa yang menjadi tugasku sejak hari kemarin
yang belum selesai. Hingga tiba saatnya sebuah panggilan mengalihkan
perhatianku. Taka sudah berada di dekat mejaku, mengajakku untuk mengikutinya
ke ruang rapat. Gosh...meeting apa lagi ini?
Di ruang meeting,
Aku agak melongo karena hanya berdua dengan Taka. Sebersit
pikiran tak jelas dan mengandung kemarahan bahwa aku hanya akan diajak
membicarakan hal-hal yang tidak penting oleh Taka, maka aku meliriknya tajam.
Mulutku masih terkunci, dan mungkin saja sudah terlihat cemberut. Namun
sebentar kemudian kepala ruanganku masuk ruang rapat. Kepala ruang, kepala
bagian, yang super arogan dan judesnya minta ampun. Perempuan late 30s yang
belum menikah, judes, mungkin cowok akan segan mendekati cewek judes begitu,
dan suka merendahkan orang lain. Hal terakhir yang aku sebutkan tadi menutup
segala sifat jelek yang dia miliki. Karena memang masih banyak yang belum aku
sebutkan.
Dengan tatapan merendahkan, dia menyodorkan berkas kepadaku,
dan sebelum aku menggapai berkas itu untuk aku lihat isinya tentang apa, dia
sudah mulai membuka suara,
“tolong kamu minta tanda tangan ke Minji, staf FNC yang
mengurusi kontrak kerja ini dengan perusahaan kita untuk acara bulan depan. Ah
iya, apakah kamu tahu FNC?.....oh tidak usah deh, kamu Taka, kamu saja yang mengurus
berkas ini, menyerahkan honor, dan jangan lupa tanda terimanya. Aku takut kalau
nanti dia(sambil telunjuknya mengarah kepadaku) malah tak bisa menguasai diri
dan berkas ini tidak selesai. Karena yang akan kalian kunjungi itu perusahaan
besar, tempat artis besar bekerja, jadi kupastikan kalian pasti akan bertemu
artis di sana. Maka itu aku tidak percaya padamu. (telunjuknya mengarah
kepadaku lagi) Aku menunjukmu karena aku ingin kamu menemani Taka saja. Dan tolong nanti sepulangnya kamu belikan
makan siang, sekaligus snack untuk meeting nanti sore. Jika ada yang kurang
jelas, ada 5 menit untuk bertanya.”
Dan 5 menit itu masih berjalan setengah menit saat dia
membuka suara lagi,
“oke. Kalian berangkat sekarang saja. Aku yakin perintahku
itu cukup jelas.” Kemudian dia berlalu.
Ssshhhh......aku menghela nafas panjang. Aku mengumpulkan
seluruh umpatanku di dalam cemberutku. Pikiranku masih melayang pada kepala
bagian yang arogan tadi, pidatonya, dan tak lupa, pada tangannya yang jelas
menunjukku dengan nada merendahkan yang sangat aku benci. Seperti aku hanyalah
tikus got yang tak patut untuk berada di
sini. Aku benar-benar tidak menyadari kehadiran Taka, karena hanya sibuk dengan
amarahku yang langsung memuncak namun aku tak bisa berucap sepatah katapun, hingga
kurasakan tangan Taka menyentuh tanganku. Aku terkejut.
“ayo kita segera berangkat.”
Aku mengikuti Taka keluar kantor. Kubawakan berkasnya, dan
kujinjing tasku. Sepanjang koridor menuju pintu basemen aku hanya diam dengan
pikiranku. Mataku terasa sangat panas. Ingin rasanya aku menangis, namun aku
masih cukup sadar bahwa aku sedang bersama Taka. Aku ingin terlihat cukup kuat
menghadapi situasi tak enak di tempat kerja.
Di mobil, di sebelah Taka,
Aku baru menyadari satu hal yang penting namun terlewatkan.
Tujuan kami adalah ke FNC. Dan aku semakin galau, semakin aku tutup mulut,
apalagi lagu yang terdengar di radio mobil malah lagunya YH. Pikiranku semakin
kacau.
“kau tak apa-apa?” tanya Taka penuh khawatir. Aku hanya
menggeleng. “jangan dirisaukan hal yang
tadi dikatakan oleh kepala bagian. Dia hanya menjalankan tugas.
Aku menyahut dalam hati, “menjalankan tugas merendahkan
orang lain? Huh.”
Aku masih terdiam. Semakin kupikirkan, semakin membuatku
ingin menangis. Mataku mulai terasa panas kembali, jadi akhirnya aku
menggosoknya. Seakan menghapus jejak, kuraih tisu lalu kugosok mataku,
mengerjap perlahan, sambil terus mendengar suara YH, mulai ikut menyenandungkan
lagunya, agar aku merasa lebih baik. Perjalanan terasa begitu lambat. Kantorku
yang memang jauh dengan FNC, membuatku hanya melamun sepanjang perjalanan.
Mencoba untuk memulai pembicaraan yang paling basi sekalipun, aku sedang tidak
berhasrat. Dan mungkin Taka sudah mengerti hal ini, jadi dia pun tak ingin
mengganggu pikiranku.
“kau mau kopi?” Taka menawarkan sebuah solusi yang membuatku
segera mengangguk. Dia memutar mobilnya, karena sepertinya kafe telah
terlewati,
“kau tak perlu sampai putar balik begini hanya untuk mampir
membeli kopi,” sahutku tergagap.
“tidak apa-apa. Aku hanya merasa kalau mungkin saja dengan
segelas kopi, bisa membuatmu lebih baik. Kulihat kamu hanya melamun saja dari
tadi.”
Di kafe, Taka pula yang memesankan kopi. Dia sudah lama
mengetahui selera kopi kesukaanku. Aku disuruhnya menunggu di mobil. Aku
memejamkan mata sejenak saat dia berlalu ke dalam kafe. Kurenungkan lagi saat
aku sehari-hari bekerja sambilan di FNC, ketika itu. Ketika aku masih sendirian
jauh di negeri orang, ketika belum bertemu ayahku, dan berganti
kewarganegaraan. Saat aku bekerja sebagai pengurus rumah, asisten manajer, dan
asisten kordi nuna. Dan terlebih lagi, aku bekerja kepada YH. Mungkin aku akan
bertahan, memberi salam perpisahan yang terbaik saat berhenti bekerja dan kembali
kepada ayahku, andai saja aku tidak masuk dalam skandal dengan anak direktur
yang sudah membeli harga diriku. Yeah, aku dipaksa untuk meninggalkan kota ini,
meninggalkan YH, dan melanjutkan hidupku sendirian. Aku tak sebersitpun pernah
terpikir untuk merebut YH untuk menjadi kekasihku, aku tahu YH tidak
menyukaiku, dan juga tidak menyukai anak direktur. Aku cukup tahu siapa dan
seperti apa tipe idaman YH, jadi sebenarnya aku bukan merupakan sebuah ancaman.
Dalam arti asalkan anak direktur memang belum tahu kalau aku sudah pernah tidur
dengan YH. Aku merasa lelah berkonflik dengan idol, belum lagi jika nantinya
akan susah mencari pekerjaan di kota yang sama saat dimana-mana orang akan
mengenaliku sebagai trouble maker, spoiler, atau apalah. Jadi sebelum segala
skandal itu keluar ke publik, aku memilih untuk menggadaikan harga diriku
dengan menerima uang yang ditawarkan anak direktur kepadaku. Jumlah yang cukup
lumayan, untuk biaya hidupku selama setahun, meski aku harus memulai lagi dari
nol, di kehidupanku. Untuk urusan kuliahku, masih bisa kulakukan dengan kuliah
jarak jauh, dan urusan mencari ayahku, akan aku lakukan kemudian, pikirku waktu
itu.
Kini setelah semua berlalu, setelah pertemuan dengan ayahku,
bekerja di tempatnya, menempati rumah
yang diberikan kepadaku, aku harus kembali menapaki sisa-sisa kenanganku di
kota ini. Termasuk aku harus kembali ke gedung FNC.
Aku terkejut saat Taka menyentuh lenganku. Mataku terbelalak
terbuka, karena aku benar-benar tak mendengar suaranya memasuki mobil.
“maaf. Aku membangunkanmu ya?” dengan tersenyum Taka
berucap.
“tidak apa-apa. Aku tidak tidur, hanya saja aku memang tak
mendengar kedatanganmu.”
“kamu melamun dari tadi.”
“sedikit. Aku hanya menahan marah sejak dari ruang rapat
tadi.” Akhirnya aku berhasil mengeluarkan isi hatiku. Taka hanya tersenyum
mendengarnya. Mungkin dia sedang merasa selangkah ke depan mendekati hatiku.
Ah, kalau saja hatiku mampu menerimanya, aku merasa Taka sangat baik dalam
memperlakukan perempuan. Namun sayangnya, hatiku sudah tertutup. Aku hanya
memilih YH. Aku tak bisa menyukai orang lain lagi.
Perjalanan berlanjut. Lagu yang mengalun masih saja
lagu-lagunya YH. Dengan kopi yang disodorkan Taka tadi, yang segera kunikmati,
membuatku sedikit lebih segar dan mampu menjernihkan pikiranku. Setidaknya aku
sudah merasa lebih baik daripada sebelumnya.
Namun perjalanan semakin mendekati FNC, tak urung membuatku
berdebar juga. Pikiranku berkecamuk, bagaimana jika aku bertemu dengan
orang-orang yang aku kenal, bagaimana jika aku ditanya mengenai banyak hal
mengenai skandal anak direktur itu, aku harus menjawab apa, lalu,
“kamu jangan melamun lagi, dong. Ada starbuk yang bisa kita
kunjungi di sebelah FNC. Kopinya tentu lebih enak.” Taka memprotes pikiranku.
Aku tak menjawab, hanya menoleh padanya dan tersenyum. Aku sudah tahu itu.
Tempat yang selalu aku kunjungi karena kopi YH yang paling dia suka hanya ada
di situ. Dan tugasku adalah menyiapkan untuknya, yang berarti dalam sehari,
jika dia sedang berada di kantor, berarti aku yang harus selalu berlari-lari
membelikan untuknya. Tak terbayang jika aku harus berkunjung ke situ lagi, aku
tak tahu apa yang harus aku ucapkan jika seumpama bertemu dengan YH lagi.
“boleh dicoba. Kalau kamu tidak keberatan,” sahutku
kemudian. Aku sendiri heran dengan mulutku yang mengucapkan hal itu dengan
tenang, padahal pikiranku berkecamuk, antara apa yang akan aku ucapkan jika di
situ bertemu dengan YH, jika karyawannya masih mengenaliku, dan lain-lain, dan
lain-lain.
Kita sudah sampai di depan gedung. Aku semakin berdebar.
Turun dari mobil dan melangkah masuk melewati pagarnya, aku mendesah berat.
Seakan ada beban menindih dadaku.
Ruang lobi masih sama interiornya, bersebelahan dengan ruang
pengisian daftar kehadiran. Aku merasa satu cobaan berlalu saat kulihat petugas
front desk yang sekarang sudah berganti. Aku hanya mengekor di belakang Taka,
sambil membawakan berkasnya. Melirik ke sekeliling ruangan, aku kembali fokus
mengikuti Taka menuju ruangan Minji. Sepertinya ruangan Minji masih sama,
karena aku masih ingat jalan yang kita lalui, masih sama seperti dulu. Aku
bersyukur di koridor sedang sepi, jadi tidak berpapasan dengan siapapun. Hingga
akhirnya masuk ke ruangan Minji. Kita disambut dengan senang oleh asisten
Minji. Sambil duduk menunggu, aku membetulkan kacamataku yang sebenarnya tidak
apa-apa. Aku resah.
Bertemu Minji.
Dia hanya manajer seorang aktris yang multitalen, yang akan
kita undang untuk mengisi acara di perusahaan. Namun sebagai manajer, Minji
melakukan semua tugasnya secara total, seakan aktris asuhannya adalah anaknya.
Jadi dia mengurus mulai dari keseluruhan acara, urusan rumah, hingga
kebutuhan-kebutuhannya. Sejak awal aku mengenalnya, aku merasa dia sangat
profesional dalam menjalankan tugasnya.
“astagaa...Son Hae...aku senang bertemu denganmu.” Tak
kusangka Minji memelukku sedemikian seperti teman lama. Aku hanya melongo
dengan sikapnya. Seperti tidak melihat bahwa Takalah ketua rombongan yang
bertugas menemuinya. Minji duduk di sebelahku. Dia terlihat sangat senang, dan
sebelum sampai menanyai Taka ada maksud apa datang ke kantornya, dia sudah
menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri kuwalahan
menjawabnya. Aku hanya menjawab sepotong-sepotong, bahwa aku bekerja di kota
ini lagi, aku menghilang hanya sesaat, dan aku yang masih karyawan magang. Dan
pernyataan Minji yang selanjutnyalah yang paling mengejutkan aku,
“kau tahu, setelah kau tinggalkan, YH jadi sangat payah. Kau
tahu kan kalau dia itu baik, kepada siapa saja, tapi dia sampai berlaku tidak
sopan pada saat itu, kepada big boss, berarti dia benar-benar marah dan
tersinggung. Kuberitahu kau, dia melempar uang 20 juta itu ke arah direktur.
Dia mengumpat, bahwa dia tak bisa dibeli, dan 20 juta itu adalah dia membeli
anaknya, karena sudah membuatmu pergi dari hidupnya. Ah, kalau saja semua
karyawan bisa berlaku seperti itu, pasti keadilan akan tegak di perusahaan ini.
Semua orang menggosip hal itu setelahnya, tapi hanya sebatas bisik-bisik di
dalam. Karena jika sampai berita ini keluar, siapapun akan ikut keluar tanpa sepeserpun.
Ancaman itu sangat jitu.” Kalimat-kalimat Minji disertai emosi yang
meledak-ledak, membuat Taka semakin bertanya-tanya, semakin mengira-ngira,
siapa yang dimaksud.
Setelah acara curhat panjang lebar, dan Taka benar-benar
tidak dianggap, akhirnya Minji menyadari kepentingan kedatangan kita. Dia
menyelesaikan penandatanganan berkas, sambil berjanji untuk ikut membuat acara
perusahaanku sukses. Kembali Minji berganti topik, seakan baru saja hal itu
terlintas di kepalanya,
“kau tahu, YH sangat produktif sejak kau tinggal. Dia
menyelesaikan beberapa lagu dalam waktu singkat. Dan kau dengar kan lagunya,
bernada seperti apa. Dia benar-benar merindukanmu, kurasa.”
Dasar, Minji sok tahu banget, gerutuku dalam hati.
akhirnya pekerjaan yang harus aku dan Taka lakukan selesai juga. kamipun bersiap meninggalkan gedung. aku mendesah pelan saat berjalan kembali menuju mobil. dalam hati aku bersyukur aku tidak bertemu manajer YH ataupun Hyung, atau siapapun yang malah akan membuat pertahananku jebol. namun sesuatu terjadi kemudian.
saat tanganku terulur untuk membuka pintu mobil, aku menoleh pada mobil merah yang berjalan pelan dua mobil di belakang mobil Taka. aku masih mengenali mobil itu. mobil sport merah milik YH. jantungku langsung berdebar keras. aku dengan gugup segera membuka pintu mobil, dan masuk ke dalam mobil dengan terengah-engah. aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menarik nafas panjang, duduk bersandar di dalam mobil. dadaku semakin sesak saat kepalaku justru secara reflek menoleh ke belakang dan kulihat YH dengan jins dan kaus putih turun dari mobilnya. aku merasa waktu seakan berhenti berputar, kepalaku tiba-tiba pening, namun aku tak ingin berpaling. aku semakin lemah dan tak sanggup melupakannya.
Kami berlalu meninggalkan gedung itu, dan acara ke starbuk seperti yang dijanjikan Taka justru berlalu bagai asap. entahlah, mungkin suasana hati Taka berubah ketika keluar gedung tadi. aku tidak terlalu perduli. yang jelas, ekspresi Taka benar-benar berbeda dari ketika berangkat tadi. aku merasa sesuatu yang dikatakan Minjilah yang menjadi penyebabnya. hatiku sedang dipenuhi bayang-bayang indah YH, segala kenanganku tentangnya. jadi aku tidak perlu terlalu memperhatikan Taka.
kita membisu dalam perjalanan kembali ke kantor.
"kamu pernah bekerja di FNC ya?" akhirnya Taka buka suara.
aku tak sanggup menjawabnya. aku tahu jika aku menjawabnya dengan apapun, dia pasti tidak percaya, jadi aku hanya memilih diam. aku tak mau menyangkal, tapi aku juga tak mau mengiyakan. aku hanya belum siap untuk menjelaskan padanya. kemudian Taka berujar lagi, menutup keheninganku,"oke, kamu berhutang satu jawaban padaku"
aku masih belum tahu harus tersenyum atau apapun, aku hanya menatapnya. karena di dalam kepalaku hanyalah bayangan YH yang tadi sekilas kutemui. bayangan bahwa YH masih hidup, sehat, dan nyata, hal itu mampu membuat duniaku serasa berhenti berputar.
"kau jangan melupakan tugas kita hari ini." Taka membawaku kembali pada kenyataan, seakan yang baru saja aku lewati memang benar-benar mimpi.
aku menyelesaikan tugas dengan ringan, sekilas kadang tersungging senyuman, aku merasa hari ini tiba-tiba saja cerah.