September 21, 2022

berawal dari kedinginan

 jadi aku hanya ingin menulis beberapa hal yang merisaukan kepalaku beberapa saat lalu. aku tidak tahu apakah hal ini benar atau salah, hal ini harus kusebut apa, dan harus kuakui sebagai apa. tapi memang  sering membuat kepalaku seakan pecah. aku tidak mengerti harus mencurahkan kepada siapa, aku terlalu malu dan tidak mau mengakui segala yang aku rasakan ini. atau aku justru takut jika banyak orang mengatakan hal yang bagiku selalu kuanggap tidak pantas. 

saat itu kita ada acara leisure package kantor ke luar kota. tahu sendiri kan, paket leisure yang dibungkus bimbingan teknis, atau harusnya disebut terbalik saja, paket bimbingan teknis yang dibungkus leisure.  acaranya antara lain seharian di dalam kelas yang membosankan, istirahat, makan malam, kelas malam, ceramah, dan akhirnya istirahat malam yang kebanyakan digunakan untuk berpencar mencari kesenangan di luar hotel. siapa yang bisa menjamin orang dewasa di berbagai usia itu untuk selalu berada di dalam kamar dan tidur? sedangkan aku pun sudah bergerilya sejak kelas terakhir tadi yang teramat boring, sudah kugunakan untuk mengirim flirt trap kepada seseorang. 

sebenarnya aku juga tidak terlalu merasa menyukai berlebihan dalam arti membawanya ke dalam hatiku. dia hanya perempuan biasa yang kebetulan saja menjadi teman sekantor, termasuk salah satu atasan, interaksi terbanyak hanya berupa pekerjaan, dan ditambah sering bertemu hanya saat di tempat parkir kantor. aku melihatnya juga biasa saja, interaksi di batas wajar, tak pernah terlintas untuk mengirim flirt trap, tapi aku mengerti kalau dia menyukaiku. sering kulihat dia dengan sengaja memperhatikanku, kadang juga kudapati dia bertingkah untuk menarik perhatianku. karena itulah saat di kelas yang boring tadi aku beranikan diri mengirimi flirt trap kepadanya. 

awalnya karena beberapa kali di dalam kelas kudapati dia memperhatikanku. dia tersenyum saat ketahuan sedang menatapku, dan aku tersenyum balik kepadanya. aku tak menyadari arah mataku yang tak tertahankan untuk tidak menurun ke dadanya, untuk kemudian naik lagi ke matanya. kuberi isyarat padanya bahwa ternyata belahan dadanya yang terlalu rendah atau mungkin dia tak sengaja melupakan satu kancingnya. dan apa yang kuterima sebagai balasan malah membuatku terkejut, dia menampilkan senyum miringnya, lalu dengan sengaja menggigit bibir bawahnya. tak kusangka dia balik mengirim flirt trap dan berhasil membuat desiran hangat di dadaku. kuambil hp untuk distraksi dan kucoba untuk mengirimi pesan singkat padanya. 

"boring ya?"

"uh, iya"

"sori to say, tapi dadamu terbuka tuh. kelihatan dari sini."

"umm ya?

"aku tahu tempat ngopi yang asyik di sini"

"mau. ayo saja. jam 9 ketemu di lokasi, sebutkan nama tempatnya"

"aku bawa mobil, kutunggu di satpam"

"paham"

setelah pesannya yang terakhir, dia mengangguk ke arahku. aku pura2 tidak melihat, padahal aku meliriknya. jadi trap ku bersambut. aku mulai menyusun rencana akan aku ajak kemana dia.

perjalanan bersamanya ternyata tidak terlalu membuatku nervous. aku merasa nyaman karena menurutku dia cukup smart untuk banyak topik pembicaraan. pengetahuannya juga lumayan luas. inilah yang aku suka. ternyata beberapa kali mempunyai pengalaman berhubungan dengan perempuan berparas cantik, menarik, dan yang membuatku betah mungkin pada bersambutnya hampir semua topik yang aku lempar ke dalam percakapan. kuakui, sebenarnya dia tidak terlalu cantik. parasnya biasa saja, posturnya juga biasa, bukan jenis ramping menarik, mungkin karena dia sudah berumur. 

"kita ke paralayang, berani?" tanyanya.

"berani. emang kenapa?"

"maksudku, medannya kan berat, jika belum terbiasa, jalannya susah" dia menjelaskan, membuatku mengangguk saja mengiyakan. padahal aku juga sudah pernah ke sana. 

obrolan demi obrolan mengalir begitu saja. semua topik bersambut dan bisa juga berujung tawa, candaan yang memancing kontak fisik seperti tepukan di lenganku pun menjadi lebih intens. aku menikmati saja. sepertinya memang dia menyukai yang clinge seperti itu. 

"dingin banget, gila." dia mengumpat setelah keluar dari mobil. aku langsung berinisiatif mengambil jaketku di jok belakang, karena aku memang ada jaket yang selalu ada di mobil. kuberikan padanya, dan tanpa berkata apapun dia langsung memakainya. 

"makasih ya, jaketnya" ujarnya kemudian sambil tersenyum. dan hal yang tak aku sangka selanjutnya adalah tangannya yang tiba-tiba sudah menggandengku. seperti tak ada keraguan pada sikapnya, dia tidak melepaskan genggamannya sambil kita melangkah menikmati pemandangan malam. 

kita duduk di bangku beton yang ada, kulihat dia merapatkan jaketnya. 

"aduh, aku kok tadi mengajak ke sini ya, harusnya aku bawa syal atau topi hangat juga" aku tersenyum dengan omelannya.

"apa? aku kan sudah tua, jadi lebih gak tahan cuaca" aku melihat mimik mukanya yang cemberut itu sebagai hal yang lucu, dan membuat senyumku masih enggan pergi. kurapatkan dudukku di sebelahnya, kucoba memberanikan diri melingkarkan tanganku di pundaknya, dan dia diam saja. tidak ada penolakan, berarti lanjut. kesimpulan cepat.

"jangan mikir macam-macam. kita ONS sekarang. lusa di kantor kita sudah teman kerja lagi." aku bergumam di telinganya. mungkin itu merupakan rayuanku yang paling hebat bagiku, karena aku tujukan pada orang yang tidak seharusnya, dan aku berani melakukannya, dan aku belum mendapat tanda penolakan. kesimpulan cepat. 

"yeah. aku paham. aku orang dewasa, jika kamu lupa." jawabnya enteng.

kita masih lanjut berbincang, sambil setengah berpelukan, karena memang berulang kali dia nyatakan kedinginan. akupun sering berbicara dengan suara rendah di telinganya, mendekatkan wajahku kepadanya, memberi sensasi hangat padanya. dan aku memang memasang jaring sejak awal, jadi aku sudah bisa menduga jika dia bisa masuk perangkapku. makin lama obrolan kami yang kesana kemari, sentuhan yang makin intens, genggaman tangan yang tidak terlepas, tawanya yang lepas sambil menjatuhkan tubuhnya ke arahku, membuatku waspada bahwa dia sudah mulai sangat nyaman. hingga saat dia mulai lengah, aku berhasil mencuri sebuah kecupan di bibirnya. aku menunggu reaksinya tanpa menjauhkan wajahku darinya. dan seperti yang sudah kuduga, dia membalas kecupanku. kita berbagi kehangatan kecupan untuk beberapa saat. karena suasana memang sudah sepi dan remang-remang tanganku mulai berani menyentuhnya. 

"ngg sebaiknya tidak di sini" potongnya sambil menarik nafas di sela-sela kecupan.

"aku mau saja sih membawamu ke kamar. kita ambil hotel lain yuk?" tawarku yang dibalas gelengan kepalanya.

"jangan, sudah cukup pelanggaran yang kita lakukan. jangan lebih." ah, aku lupa sedang berurusan dengan siapa. dia wanita dewasa yang juga harus aku hormati. karena itulah dia masih mampu berpikir straight meskipun kita sudah sama-sama ingin melampiaskan hasrat.

"maaf, ya" ujarku.

"iya, tidak apa-apa. aku cukup tahu diri untuk tidak berbuat yang berbahaya. bahaya bagimu, posisiku, dan semua. masih ada hal yang harus aku jaga." kueratkan pelukanku. kuciumi pucuk kepalanya, sambil tanganku bergerilya ke tubuhnya. di dalam jaketnya, tidak terlalu kentara jika tanganku sudah menyusup jauh kemana-mana di balik bajunya. dia hanya mengeluh pelan dan tertahan sambil sesekali kami kembali berciuman.


 



November 11, 2020

kucing jadian

 mom mengetuk pintu kamar, mengatakan ada teman menjengukku. ak terduduk dari rebahanku, berusaha tampil sehat dan kuat. (pasca operasi tulang pundakku, aku tidak boleh banyak membuat gerakan ekstrim, jadi aku ekstra hati-hati, seakan lem tulang itu belum benar-benar kering dan siap kapan saja retak dengan satu hentakan keras). aku masih memikirkan kira-kira siapa teman yang bertandang ke kamarku, karena jika member lain yang mengunjungiku, tak perlu pakai permisi pasti sudah mendobrak pintu kamar, jika bang pidi yang datang, mom tak mungkin menyebut temanku, karena mom sudah tahu siapa bang pidi. 

pintu kamar terbuka, aku terkejut. kulihat senyum manis sunni tertuju ke arahku. jantungku seperti melompat dari dadaku. 

"hai. sudah baikan?"

"aku tidak sakit kok, aku hanya perlu memastikan lem tulangku tidak retak", kalimatku yang baru saja terlontar tak kusangka membuat dia tersenyum semakin lebar.

"kau bisa saja bercandanya" dia menarik kursi dari meja di sebelahku, meletakkan seikat bunga di atas meja, lalu duduk menghadapku, yang juga duduk di pinggir ranjang sekarang. aku harus menahan untuk tidak terlalu salah tingkah, dan berusaha sangat keras untuk bersikap biasa saja. tapi sepertinya tidak terlalu berhasil. aku masih gugup.

"aku tak tahu harus bilang apa" kutatap wajahnya yang sepertinya sedang bahagia. dia tersenyum.

"aku ingin memastikan kau tak apa-apa. aku kuatir juga sejak beberapa hari yang lalu."

"i'm okay"

"iya aku tahu. lega rasanya setelah bertemu" 

aku tak terlalu ingat dengan pasti apa reaksiku atas kalimatnya itu, tapi satu hal yang paling pasti reaksiku adalah membelalakkan mataku yang sudah sipit ini. mungkin juga aku melongo, sejenak lupa untuk menutup mulutku. tapi bisa juga aku cuma tersenyum. dan hal itu malah membuat sunni tampak lebih bahagia, terbukti dia melebarkan senyumnya, dan hal yang tak aku sangka justru terjadi. dia menggenggam tanganku. seperti dialiri arus listrik, dari hangat dan halus tangannya, mengalirkan gelombang ke dadaku, lalu ke wajahku yang terasa menghangat, sepertinya juga memerah seperti kepiting rebus. lalu kami berdua terdiam sejenak, hanya saling pandang, tetapi sepertinya tak ada rencana sunni untuk melepaskan genggaman tangannya. dunia seperti berhenti, hanya tarikan dan hembusan nafas kami yang hidup. aku masih menatap matanya, senyumnya. hingga tiba-tiba ada hal yang membuat semua itu berakhir, notifikasi handphone yang berbunyi seperti petasan renteng, saking banyaknya. seperti pesan spam. 

"sepertinya handphonemu butuh perhatian" ujar sunni sambil tak berhenti tersenyum kepadaku. aku dengan agak gugup mengambil hp dan kubuka pesan spam dari para member yang menanyakan apakah benar sunni sedang mengunjungiku, ada yang minta difotokan, ada yang menanyakan hal-hal remeh, dan mereka memang selalu begitu jika aku sedang berurusan dengan sunni. kok mereka tahu, aku tak terlalu berpikir panjang, mungkin saja mom memberitahu mereka, karena mom juga tahu mereka semua menyukai sunni.

"pesan penting?atau spam saja?" tanya sunni. kujawab dengan anggukan. kupikir sunni bisa mengerti, aku mengangguk itu tanda iya, untuk semua pertanyaannya. namun sunni mengartikan lain, baginya, anggukan kepalaku selagi aku scrolling itu artinya membolehkan dia duduk di sebelahku dan mengintip pesanku. aku menjadi semakin gugup, dan salah tingkah. dia duduk dekat di sebelahku, bau harum tubuhnya bisa kucium dan merasuk ke otakku, seperti menghipnotis aku. aku tak tahu apa aku bisa selamat dari godaan untuk mencium harum tubuhnya lagi jika suatu saat nanti aku bertemu dengannya lagi. 

"ayo kita foto" ujarku. 

"aku saja yang fotoin, tanganmu yang sebelah jangan terlalu banyak digerakkan." aku lupa, dia tadi dengan hati-hati duduk di sebelahku di bagian tubuhku yang tidak sakit. kami berfoto beberapa kali, dan membuat jantungku semakin tak beraturan, karena tubuhnya begitu dekat denganku. aku akhirnya pasrah saja dengannya, karena aku semakin tak bisa menguasai diriku lagi. aku membiarkan saja diriku larut dalam semua yang dilakukannya, dia masih menggenggam tanganku, lalu mengambil foto selfi dengan berbagai ekspresi, membiarkannya lebih dekat lagi padaku, membuatku semakin tak mampu melupakan bau tubuhnya. 

"sudah ah, biar aku kirim semua foto tadi. aku yakin mereka akan senang. aku juga senang bisa melayani fanboy dengan baik." dia membalas pesan di grupku. awalnya aku tidak terlalu perduli dia akan menulis apa, hingga saat kusadari, itu kan aku yang berada di grup member, mereka pasti bertanya-tanya dan pasti mengira itu bukan bahasa yang biasa aku gunakan, akhirnya kucoba merebut kembali hpku. namun sepertinya sunni menolaknya.

"sebentar, masih belum selesai kukirim foto yang tadi"

"jangan ngeles, itu bukan hanya foto yang kamu kirim. kamu ngomong apa saja di grup?"

"iya, sebentar. ini ada 6 fanboy di sini, mereka ingin tahu beberapa hal tentangku. ah, seperti sedang fanmeeting"

"mereka bukan fanboy. mereka temanku." aku menyahut agak kesal. aku tidak mau member dikatakan sebagai fanboy. aku merasa posisi kita setara, jika hanya disebut fanboy, aku merasa agak diremehkan.

"kamu bukan fanboy. kamu temanku", ujarnya sambil masih membalas chat. dia juga tidak menatapku saat mengatakan hal itu. aku kesal dibuatnya.

"mereka semua temanku, jadi aku tidak mau kamu menyebut mereka fanboy. aku keberatan dengan sebutanmu itu." Tak kusangka kalimatku ini membuatnya mendongakkan kepala dan menatapku.

"lantas, mengapa kamu merasa begitu? apanya yang salah?" dia menatapku, tapi aku tak bisa menjawabnya juga. aku terdiam, berpikir akan menjawab apa.

"jadi, jika kamu keberatan aku menyebut fanboy bagi yang lain, dan kamu maunya aku menyebut mereka temanku, baik. sekarang, bagiku mereka semua adalah temanku. puas?"

"dan kamu bukan temanku. kamu itu lebih di atas teman. aku tidak mau berteman denganmu", lanjutnya. kalimatnya terasa tajam bagiku. mengapa dia sampai berkata seperti itu. aku bertanya-tanya juga kira-kira apa aku sudah berbuat kesalahan padanya. belum kutemukan jawabnya, dia kembali tersenyum,

"aku menyukaimu, jadi aku tidak mau kalau hanya menjadi temanmu. aku harus setingkat lebih tinggi daripada teman." dia menatapku serius. aku malah tidak menyangka akan menjadi seperti ini. aku seperti menemukan keping pasel yang selama ini kucari, dan tanpa kusadari hal ini membuatku tersenyum padanya.

"aku juga menyukaimu, sejak lama." akhirnya terlontar juga perasaanku padanya. aku juga terkejut dengan kemampuanku mengakui perasaanku kepadanya.

"jadi, sekarang kita jadian? ah, senangnya." dia kembali tersenyum. senyum yang sangat aku suka. dan matanya yang berbinar menatapku, aku tak mampu melawan pesonanya.

"tunggu, aku harus memberitahukan kepada teman-temanku juga." dia kembali dengan hpku. dia kembali pada grup chatku, mengetik dan mengetik. aku hanya terdiam menatapnya. aku tak mampu mencegahnya, toh jika aku mencegahnya, tak urung dia akan memaksaku untuk membuat pengumuman di grup. jadi bagiku, sekalian saja kubebaskan dia menulis di teman-temannya itu. atau aku hanya sibuk dengan hatiku yang sedang bahagia, entahlah. aku hanya merasa membiarkan dia berbuat sesuatu yang membuatnya bahagia, melihatnya senang, sudah mampu membuatku bahagia juga.



Oktober 14, 2020

late night call beserta dampaknya

 akhirnya kesempatanku untuk mandi tiba. setelah selesai menyapa vlive, bergegas aku mandi, agar bisa segera tidur juga. ak baru saja memakai jubah mandiku dan bermaksud keluar kamar mandi saat aku mendengar teleponku berdering. kulihat, nomor yang belum dikenal hp ku, dan aku masih bertanya-tanya kira-kira siapa. kuangkat telepon itu, kujawab sambil mengeringkan rambutku dengan handuk kecil. suara perempuan, menyapaku ramah dan hati-hati,

"hai, maaf ya mengganggu. maaf ya aku menelponmu. aku rosi"

langsung saja jantungku serasa loncat dari dadaku. aku tergagap menyambut salamnya,

"ooh, hhaai juga. aku kaget saja menerima telponmu. maaf ya"

"aku yang minta maaf telah menelponmu di jam larut seperti ini."

"kita tak bisa melakukan seperti orang di luaran sana. kita hanya punya waktu di saat seperti ini", jawabku sepertinya terkesan bijak. padahal itu hanya caraku untuk berusaha menahan deburan jantungku sambil berpikir untuk memperpanjang bicara dengannya.

"aku menelpon karena aku tadi juga sudah bergabung dalam vlive mu, dan ingin memastikan juga kalau kamu di hotel ini.siapa tahu besok kita bisa bertemu. besok perform di sini juga, kan?" 

aku mendengarkan suaranya dengan cermat, sambil menyeka rambutku. aku telah menjatuhkan handukku entah dimana tadi. dan aku menjawabnya dengan mengangguk, lalu ingat kalau sedang menelpon, akhirnya aku mengiyakannya. 

kudengar blam blam di pintu, lalu aku berjalan menghampiri pintu, kulihat jk masih bermaksud menggangguku lagi di kamarku. akhirnya aku menyahut setelah kubuka sedikit pintuku,

"maaf, mom's calling. see you tomorrow". blam. kututup pintuku dan kukunci. dengan gugup aku mencoba kembali pada rosi,

"maaf, ada pengganggu. ngg tadi apa?" dan kudengar rosi hanya tertawa kecil.

"jadi saat ibumu menelpon, tak akan ada yang berani mengganggu?", aku bahkan sepertinya bisa membayangkan senyum rosi saat mengatakan ini.

"yeah, kita diberi privasi untuk hal semacam ini. hey, bagaimana jika aku vcall?" tiba-tiba saja pikiran itu terlontar dari mulutku. sedetik kemudian aku menyesali, mengapa aku terlalu vulgar mengajaknya video call, tapi lalu aku tidak perduli jika dia tidak mau. dan ternyata jawabannya malah membuatku semakin terkejut,

"oke" dan sekarang aku bisa melihatnya sedang duduk di kasurnya, dengan jubah mandi putihnya, membuatku sesaat menahan nafas. ak tersenyum malu, membayangkan dia bisa mendengar debur jantungku saat ini.

"ngg...maaf ya, maaf. sepertinya, pakaianmu agak terlalu terbuka". deg, jantungku melompat lagi dari dadaku. aku tersenyum gugup, sebelah tanganku masih memegang hp, dan segera saja tangan satunya membetulkan letak krah baju mandi itu. 

"aku masih gugup" sahutku kembali.

"aku hanya tidak ingin otakku menggelinding jatuh dari kepala." aduh, jawaban rosi membuatku benar-benar harus menunduk menyembunyikan mukaku karena aku sangat malu. 

"besok, apa bisa kita ketemu?" aku tidak tahu dari mana kekuatan untuk mengatakan hal itu datang, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku. aku tersenyum melihat dia juga tersenyum, aku mengangguk, dia juga mengangguk. aku melihat ke matanya, mencoba menyelidik isi dalam hatinya, mungkin aku terlihat membelalakkan mataku, membuat sebuah tawa kecil muncul di bibirnya.

"iya, aku bisa mengusahakan. besok hubungi lagi saat di backstage."

"setuju. sekarang istirahat saja"

pop. wajahnya menghilang setelah sebuah senyum good night. aku yakin, aku pasti menyeretnya ke dalam mimpiku nanti. aku masih tersenyum, kutarik selimutku.

esoknya:

tanganku menjadi berkeringat sesering detak jantungku. tidak biasanya aku gugup. sedari tadi aku berusaha untuk bersikap biasa saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa, namun tak urung aku benar-benar gugup. baru kali ini aku gugup bukan karena hendak perform, tapi hal lain. akhirnya aku mencoba mengirim pesan pada rosi agar kita bertemu setelah perform saja. agar lebih mudah bagiku untuk konsentrasi, demikian pula baginya. dia menyetujui.

pada member lain yang curiga dengan sikapku, aku berusaha meyakinkan bahwa ada sesuatu di rumah, kilahku berbohong. aku hanya segan menceritakan penyebab hilangnya konsentrasiku itu. 


akhirnya saat yang aku tunggu datang juga. meskipun rasanya seperti setahun menunggu. setelah selesai perform dan aku harus berganti kostum, otakku berputar secepat gasing, menentukan alasan, pergi keluar ruang make up, lalu mengirim pesan. aku lihat sepintas di hpku, ternyata malah rosi yang lebih dulu mengirimi aku pesan, menungguku di ruang make up di ujung lorong, dekat dengan toilet. aku setengah bersyukur saat mengambil baju ganti, dan melangkah menuju pintu. saat jk curiga dan berusaha membuntuti aku, aku masih sempat membelalakkan mataku, dan selorohku:

"kau ingin memotretku telanjang?kenapa harus mengikuti aku ke toilet?" dan aku juga tidak perduli jika hanya guyonan sepele saja sekarang membuat aku sensitif dan mendelik seperti itu. sekarang aku hanya ingin bertemu rosi, itu yang terkumpul di benakku. 

aku berjalan tergesa, melepas bajuku di lorong, sambil mengenakan baju ganti selagi melangkah melewati toilet, tak lupa menoleh ke belakang, aku juga mencurigai member lain yang akan membuntuti langkahku. hingga sampai di depan ruang yang dimaksud, aku mengetuk sekenanya pintunya, sambil membuka pintu, lalu melangkah masuk. 

jantungku masih berdetak melebihi saat aku work out ataupun perform. sambil berpikir mengapa hanya melihat senyum rosi, sudah bisa membuat tubuhku hangat dan wajahku mungkin saja sudah semerah kepiting rebus. aku kehilangan kata-kata yang sudah kususun sejak dari ruang make up tadi. aku kehilangan kalimat yang akan aku ucapkan. aku hanya mampu tersenyum, melihatnya juga tersenyum. kami akhirnya terdiam. aku mendekatinya. aku laki-laki, jadi aku harus lebih pandai menguasai keadaan. aku memang harus menghadapi rasa malu ini, semua rasa yang sudah susah payah aku tahan sejak semalam. akhirnya aku menuruti insting dasarku saja, karena otakku benar-benar telah kehilangan memori kalimat yang sudah aku susun sebelumnya. kudekati dia, dan kupeluk tubuhnya. itu saja bagiku daripada aku berpikir keras dan masih saja tidak menemukan kalimat yang kumaksud. kutunggu reaksinya. awalnya tubuhnya serasa menegang, mungkin kaget karena tiba-tiba saja aku memeluknya (kesimpulanku sendiri). lalu beberapa detik kemudian, diapun merangkulkan kedua tangannya ke leherku. sepertinya sudah tidak setegang saat awalnya tadi (kesimpulanku sendiri). kucium bibirnya. pelan saja, sambil lagi-lagi menunggu reaksinya. dan ternyata dia menerima ciumanku, kulanjutkan saja karena aku merasa dia membalas ciumanku itu artinya dia menyukainya, dia menghendaki untuk kulanjutkan (kesimpulanku sendiri). kami berciuman beberapa saat, hingga kemudian dia berhenti dan sedikit mendorong tubuhku. dia menunduk,

"maaf. aku tidak bisa menguasai diri. maaf"

"hey, mengapa harus minta maaf? jika berciuman itu sebuah kesalahan, harusnya aku kan, yang minta maaf? sudahlah. tidak perlu terlalu dipikirkan. kita toh sudah dewasa" aku sendiri juga terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutku. 

"sebaiknya kita keluar sebelum ada orang yang curiga dan tiba-tiba mendobrak pintunya" ujarnya. aku memperhatikan ekspresinya, kuperhatikan matanya yang berkedip beberapa kali lebih sering karena gugup. aku tersenyum melihat matanya sedikit membulat menatapku. aku menyukainya.aku menyukai senyumnya. dan pandanganku beralih ke bibirnya, dan sekali lagi kukecup bibir itu. sebelum aku berlalu lebih dulu keluar ruangan.

aku menyusuri lorong sambil menahan senyum, berusaha menahan ekspresiku agar terlihat biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. padahal itu tadi benar-benar sesuatu yang bisa meledakkan kepalaku. aku tidak tahu berapa langkah yang aku ambil sehingga ruang make up terlewati. aku seperti tidak menapak di lantai sehingga tidak bisa melihat sekelilingku, sehingga ruang make up terlewati. aduh, andai ada member lain ada yang melihat, bisa habis mukaku dihajar 6 orang.

aku gugup saat masuk ruangan, memperhatikan sekeliling. aku seperti terhempas ke kenyataan keseharianku lagi. kutepuk pipiku, meyakinkan diri bahwa yang aku alami tadi bukanlah mimpi.

"hyung, tadi toiletnya di luar gedung ya?atau kau pilih toilet di lantai dasar?", bahkan pertanyaan sepele seperti itu, membutuhkan beberapa detik bagiku untuk mencerna dan menjawabnya,

"di gedung seberang", jawabku ketus. semoga mereka tidak curiga (kesimpulanku sendiri).


Juni 17, 2019

september rain

aku membiarkan hujan membasahi tubuhku. berlari-lari kecil aku menuju sebuah kafe untuk berlindung. aku tak menduga akan turun hujan karena sedari pagi langit terlihat cerah. mendung datang begitu tiba-tiba dan tak memberiku kesempatan untuk persiapkan payung, jas hujan, dan yang paling akhir, adalah persiapkan hatiku untuk mengendalikan semua kenangan tentang hujan.
aku masuk ke kafe dengan baju yang agak basah di bahu, dan ujung celanaku. udara lembab di dalam, dan aku segera mencari tempat duduk kosong. kulihat di ujung masih tersisa meja yang kosong, lalu aku menuju ke sana. datang pelayan, memberi buku menu, dan aku menyebutkan pesananku, dia berlalu.
aku melihat ke luar jendela, hujan semakin deras turun. aku menyesali saat aku mencari tempat parkir tadi, agak jauh di seberang kafe ini, membuatku harus ekstra jauh berjalan kaki. aku belum memikirkan bagaimana aku akan kembali ke mobilku nanti. akupun tak tahu hingga berapa lama aku harus berteduh di kafe itu, sementara aku masih harus kembali ke tempat kerja. atau aku mencoba menelpon teman seruangan saja, namun aku tak tahu harus beralasan apa. karena tadi aku hanya pamit untuk makan. tapi akhirnya kutelpon taka, untuk meminta tolong melaporkan izinku, kukatakan aku agak pusing, dan butuh istirahat, sehingga aku tidak bisa kembali ke kantor.
aku mengambil nafas lega dengan satu urusan izin kantor tadi, dan hal selanjutnya melintasi pikiranku. hujan masih turun dengan begitu derasnya, mengaburkan suara lalu lintas, suara musik yang mengalun, dan hiruk pikuk di dalam kafe. aku melamun lagi. hingga kemudian telepon berdering, dari taka. aku merancang kalimat yang akan aku katakan sebelum aku menjawabnya. tak urung aku berpikir keras saat dia bertanya aku sedang berada dimana. aku ingin berbohong saja, namun aku merasa sungkan untuk mengkhianatinya karena dia sudah begitu baik menolongku dalam berbagai hal. hanya saja aku tak bisa membalas perasaannya. aku memang tidak ada hati kepadanya, dan aku malah mengetahui bahwa ada teman sekerja juga yang lebih menyukainya.
akhirnya kuberitahu dia bahwa aku masih makan, dan setelahnya aku berencana untuk istirahat di rumah. aku terlalu percaya diri bahwa dia pasti akan berlari menyusulku jika kuberitahukan bahwa aku berada di sebuah kafe. dan karena aku tak ingin terganggu, segera pula kusudahi percakapanku. aku kembali pada lamunanku. kembali aku ingin membawa perasaanku pada hujan, pada semua ingatanku tentang hujan, tentang september, dan segala ingatanku tentang kejadian indah yang kulalui di bulan september yang lalu. aku hanya ingin melamun saja, akhirnya kupejamkan mataku, kubiarkan minuman yang kupesan menjadi dingin perlahan, tanpa kusentuh. kusandarkan kepalaku. kuingat kembali saat aku pertama kalinya menemui yh setelah kejadian itu, setelah aku berpura-pura lupa dengan apa yang pernah kita lakukan, dia benar-benar marah karena aku dianggap sudah melupakannya. kupikir dia tidak menyukaiku, jadi untuk apa aku mengungkitnya, untuk apa aku merasa percaya diri seakan dia juga menyukaiku?
aku masih bekerja seperti biasanya, mencoba untuk bersikap profesional, untuk tidak terlalu hanyut dengan perasaanku saat harus bekerja berdua dengannya. bahkan saat membuat video klip salah satu lagunya, aku masih berusaha untuk berakting seprofesional mungkin, hanya demi motivasi mendasar satu-satunya bagiku, yaitu uang. bahkan, saat aku dibeli oleh anak direktur, dalam arti aku diberi uang banyak hanya untuk menghindar jauh, dan keluar dari pekerjaanku di lingkaran terdekat yh, aku sanggupi. aku melihat jumlah uangnya saja, tanpa melihat motivasi yang lain. tanpa membayangkan dampak akhir dari apapun yang aku lakukan saat itu. setelah aku selesai dengan kerjasama dalam pembuatan video klip itu, tanpa pamit secara personal pada yh, aku pergi. meninggalkan dia begitu saja. aku masih yakin dia tidak menyukaiku, dia lebih menyukai kim yuna, seorang aktris idolanya. karena itulah, aku tak merasa perlu untuk pamit secara pribadi dengannya. aku harus menyingkir, sesuai dengan keinginan anak direktur, sesuai dengan jumlah uang yang sudah aku terima, dan segala konsekuensinya. hanya saja, aku tak bisa diam-diam pergi tanpa memberi tahu jung, yang bagiku terasa mengganjal jika aku tidak memberitahunya penyebab aku melakukan semua ini. esoknya, dengan mata yang bengkak karena semalaman aku menangis, kutemui jung di asramanya.kuceritakan saja dengan gamblang keadaan yang menghimpitku, tentang anak direktur, tentang perasaanku pada yh, dan aku bisa pergi dengan lega. tak lupa aku berpesan agar tak perlu memberitahu yh tentang sikap anak direktur yang telah membeliku. aku hanya butuh uangnya, aku merasa jauh di rantau dan masih membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidupku dalam mencari ayah kandungku, yang tak kutahu hingga seberapa lama hingga aku temukan dia. karenanya, tawaran itu bagiku mudah saja kuterima.
aku benar-benar tak memikirkan perasaan yh.aku tak perduli dengannya, ketika itu. hingga saat kudengar dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun tv, yh mengatakan dia masih menyimpan perasaan suka dengan seseorang yang pernah dikenalnya, seseorang yang dulu pernah dekat dengannya, dan menghilang tiba-tiba.
aku tak merasa itu aku. aku tidak terlalu percaya diri, bahwa yang dimaksud yh adalah aku. kukira, dia pasti membicarakan ada perempuan lain yang disukainya. aku juga tak mendapatkan clue apapun jika memang yang dimaksud yh adalah aku. dia juga tidak secara spesifik mengungkapkan tentangku. aku menghibur diri dengan menganggap seolah-oleh perempuan yang dimaksud adalah aku. aku hanya mengira-ngira. aku hanya menduga hal yang tak berdasar.
aku merasa di pipiku mengalir sebulir air mata. selalu saja saat aku ingat dengan yh, air mataku tiba-tiba tak terasa mengalir begitu saja. tanpa isakan apapun, kubuka mataku. mencoba melihat sekeliling, mencoba kembali ke dunia nyata. kuhapus sisa air mata di pipiku. dan aku terkejut dengan pemandangan yang ada di depanku. kulihat taka duduk di depanku, tersenyum sambil memegangi cangkirnya.
"kamu melamunkan apa, sedih ya? sampai menangis seperti itu."
aku tak membalas apapun.
"gak ingin cerita padaku?"
aku tak bersuara. tapi aku mencoba tersenyum. mengalihkan kekagetanku karena tiba-tiba saja dia sudah berada di depanku. aku tak tahu pula sejak kapan dia berada di situ. akhirnya kucoba membuka suara, karena aku tak mau dia terus menerus mencercaku dengan penasarannya karena aku telah menangis di depannya,
"aku hanya melamun, sedih, karena aku ingat sesuatu." kubiarkan sisa kalimatku menggantung. aku tak ingin dia tahu bahwa seseorang yang sangat aku rindukan itu bukan dia.
"aku lihat kamu seperti kelelahan begitu. aku tak ingin mengganggu. maka itu kutunggui saja, agar tak ada yang mengganggumu." dia masih tersenyum.
dan lagu yang mengalun di dalam kafe adalah lagu yh, because i miss you.aku semakin susah untuk kembali ke dunia nyata. aku terbius suaranya lagi. aku melamun lagi. aku tak ingin bicara apapun, tak ingin mendengar apapun, selain suara yh, sebelum lagu itu berakhir, aku kembali pada lamunanku.


Februari 13, 2018

REALLY BAD OR GREAT DAY?

Hari ini harusnya aku bersyukur, bahwa aku masih bisa menikmati hari, masih bisa ngantor, dan lain-lainnya. Namun apa daya jika di kantor pun mulai terasa ketidakenakan itu.
Setelah berjuang dengan dingin, dan mencari spot parkir terbaik menurutku di basement, aku mulai bekerja seperti biasanya, secangkir kopi di mejaku. Itupun setelah aku dengan terpaksa membuatkan kopi untuk teman seruanganku. Aku mulai mengerjakan apa yang menjadi tugasku sejak hari kemarin yang belum selesai. Hingga tiba saatnya sebuah panggilan mengalihkan perhatianku. Taka sudah berada di dekat mejaku, mengajakku untuk mengikutinya ke ruang rapat. Gosh...meeting apa lagi ini?
Di ruang meeting,
Aku agak melongo karena hanya berdua dengan Taka. Sebersit pikiran tak jelas dan mengandung kemarahan bahwa aku hanya akan diajak membicarakan hal-hal yang tidak penting oleh Taka, maka aku meliriknya tajam. Mulutku masih terkunci, dan mungkin saja sudah terlihat cemberut. Namun sebentar kemudian kepala ruanganku masuk ruang rapat. Kepala ruang, kepala bagian, yang super arogan dan judesnya minta ampun. Perempuan late 30s yang belum menikah, judes, mungkin cowok akan segan mendekati cewek judes begitu, dan suka merendahkan orang lain. Hal terakhir yang aku sebutkan tadi menutup segala sifat jelek yang dia miliki. Karena memang masih banyak yang belum aku sebutkan.
Dengan tatapan merendahkan, dia menyodorkan berkas kepadaku, dan sebelum aku menggapai berkas itu untuk aku lihat isinya tentang apa, dia sudah mulai membuka suara,
“tolong kamu minta tanda tangan ke Minji, staf FNC yang mengurusi kontrak kerja ini dengan perusahaan kita untuk acara bulan depan. Ah iya, apakah kamu tahu FNC?.....oh tidak usah deh, kamu Taka, kamu saja yang mengurus berkas ini, menyerahkan honor, dan jangan lupa tanda terimanya. Aku takut kalau nanti dia(sambil telunjuknya mengarah kepadaku) malah tak bisa menguasai diri dan berkas ini tidak selesai. Karena yang akan kalian kunjungi itu perusahaan besar, tempat artis besar bekerja, jadi kupastikan kalian pasti akan bertemu artis di sana. Maka itu aku tidak percaya padamu. (telunjuknya mengarah kepadaku lagi) Aku menunjukmu karena aku ingin kamu menemani Taka saja.  Dan tolong nanti sepulangnya kamu belikan makan siang, sekaligus snack untuk meeting nanti sore. Jika ada yang kurang jelas, ada 5 menit untuk bertanya.”
Dan 5 menit itu masih berjalan setengah menit saat dia membuka suara lagi,
“oke. Kalian berangkat sekarang saja. Aku yakin perintahku itu cukup jelas.” Kemudian dia berlalu.
Ssshhhh......aku menghela nafas panjang. Aku mengumpulkan seluruh umpatanku di dalam cemberutku. Pikiranku masih melayang pada kepala bagian yang arogan tadi, pidatonya, dan tak lupa, pada tangannya yang jelas menunjukku dengan nada merendahkan yang sangat aku benci. Seperti aku hanyalah tikus got yang tak patut untuk  berada di sini. Aku benar-benar tidak menyadari kehadiran Taka, karena hanya sibuk dengan amarahku yang langsung memuncak namun aku tak bisa berucap sepatah katapun, hingga kurasakan tangan Taka menyentuh tanganku. Aku terkejut.
“ayo kita segera berangkat.”
Aku mengikuti Taka keluar kantor. Kubawakan berkasnya, dan kujinjing tasku. Sepanjang koridor menuju pintu basemen aku hanya diam dengan pikiranku. Mataku terasa sangat panas. Ingin rasanya aku menangis, namun aku masih cukup sadar bahwa aku sedang bersama Taka. Aku ingin terlihat cukup kuat menghadapi situasi tak enak di tempat kerja.
Di mobil, di sebelah Taka,
Aku baru menyadari satu hal yang penting namun terlewatkan. Tujuan kami adalah ke FNC. Dan aku semakin galau, semakin aku tutup mulut, apalagi lagu yang terdengar di radio mobil malah lagunya YH. Pikiranku semakin kacau.
“kau tak apa-apa?” tanya Taka penuh khawatir. Aku hanya menggeleng.  “jangan dirisaukan hal yang tadi dikatakan oleh kepala bagian. Dia hanya menjalankan tugas.
Aku menyahut dalam hati, “menjalankan tugas merendahkan orang lain? Huh.”
Aku masih terdiam. Semakin kupikirkan, semakin membuatku ingin menangis. Mataku mulai terasa panas kembali, jadi akhirnya aku menggosoknya. Seakan menghapus jejak, kuraih tisu lalu kugosok mataku, mengerjap perlahan, sambil terus mendengar suara YH, mulai ikut menyenandungkan lagunya, agar aku merasa lebih baik. Perjalanan terasa begitu lambat. Kantorku yang memang jauh dengan FNC, membuatku hanya melamun sepanjang perjalanan. Mencoba untuk memulai pembicaraan yang paling basi sekalipun, aku sedang tidak berhasrat. Dan mungkin Taka sudah mengerti hal ini, jadi dia pun tak ingin mengganggu pikiranku.
“kau mau kopi?” Taka menawarkan sebuah solusi yang membuatku segera mengangguk. Dia memutar mobilnya, karena sepertinya kafe telah terlewati,
“kau tak perlu sampai putar balik begini hanya untuk mampir membeli kopi,” sahutku tergagap.
“tidak apa-apa. Aku hanya merasa kalau mungkin saja dengan segelas kopi, bisa membuatmu lebih baik. Kulihat kamu hanya melamun saja dari tadi.”
Di kafe, Taka pula yang memesankan kopi. Dia sudah lama mengetahui selera kopi kesukaanku. Aku disuruhnya menunggu di mobil. Aku memejamkan mata sejenak saat dia berlalu ke dalam kafe. Kurenungkan lagi saat aku sehari-hari bekerja sambilan di FNC, ketika itu. Ketika aku masih sendirian jauh di negeri orang, ketika belum bertemu ayahku, dan berganti kewarganegaraan. Saat aku bekerja sebagai pengurus rumah, asisten manajer, dan asisten kordi nuna. Dan terlebih lagi, aku bekerja kepada YH. Mungkin aku akan bertahan, memberi salam perpisahan yang terbaik saat berhenti bekerja dan kembali kepada ayahku, andai saja aku tidak masuk dalam skandal dengan anak direktur yang sudah membeli harga diriku. Yeah, aku dipaksa untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan YH, dan melanjutkan hidupku sendirian. Aku tak sebersitpun pernah terpikir untuk merebut YH untuk menjadi kekasihku, aku tahu YH tidak menyukaiku, dan juga tidak menyukai anak direktur. Aku cukup tahu siapa dan seperti apa tipe idaman YH, jadi sebenarnya aku bukan merupakan sebuah ancaman. Dalam arti asalkan anak direktur memang belum tahu kalau aku sudah pernah tidur dengan YH. Aku merasa lelah berkonflik dengan idol, belum lagi jika nantinya akan susah mencari pekerjaan di kota yang sama saat dimana-mana orang akan mengenaliku sebagai trouble maker, spoiler, atau apalah. Jadi sebelum segala skandal itu keluar ke publik, aku memilih untuk menggadaikan harga diriku dengan menerima uang yang ditawarkan anak direktur kepadaku. Jumlah yang cukup lumayan, untuk biaya hidupku selama setahun, meski aku harus memulai lagi dari nol, di kehidupanku. Untuk urusan kuliahku, masih bisa kulakukan dengan kuliah jarak jauh, dan urusan mencari ayahku, akan aku lakukan kemudian, pikirku waktu itu.
Kini setelah semua berlalu, setelah pertemuan dengan ayahku, bekerja di tempatnya, menempati  rumah yang diberikan kepadaku, aku harus kembali menapaki sisa-sisa kenanganku di kota ini. Termasuk aku harus kembali ke gedung FNC.
Aku terkejut saat Taka menyentuh lenganku. Mataku terbelalak terbuka, karena aku benar-benar tak mendengar suaranya memasuki mobil.
“maaf. Aku membangunkanmu ya?” dengan tersenyum Taka berucap.
“tidak apa-apa. Aku tidak tidur, hanya saja aku memang tak mendengar kedatanganmu.”
“kamu melamun dari tadi.”
“sedikit. Aku hanya menahan marah sejak dari ruang rapat tadi.” Akhirnya aku berhasil mengeluarkan isi hatiku. Taka hanya tersenyum mendengarnya. Mungkin dia sedang merasa selangkah ke depan mendekati hatiku. Ah, kalau saja hatiku mampu menerimanya, aku merasa Taka sangat baik dalam memperlakukan perempuan. Namun sayangnya, hatiku sudah tertutup. Aku hanya memilih YH. Aku tak bisa menyukai orang lain lagi.
Perjalanan berlanjut. Lagu yang mengalun masih saja lagu-lagunya YH. Dengan kopi yang disodorkan Taka tadi, yang segera kunikmati, membuatku sedikit lebih segar dan mampu menjernihkan pikiranku. Setidaknya aku sudah merasa lebih baik daripada sebelumnya.
Namun perjalanan semakin mendekati FNC, tak urung membuatku berdebar juga. Pikiranku berkecamuk, bagaimana jika aku bertemu dengan orang-orang yang aku kenal, bagaimana jika aku ditanya mengenai banyak hal mengenai skandal anak direktur itu, aku harus menjawab apa, lalu,
“kamu jangan melamun lagi, dong. Ada starbuk yang bisa kita kunjungi di sebelah FNC. Kopinya tentu lebih enak.” Taka memprotes pikiranku. Aku tak menjawab, hanya menoleh padanya dan tersenyum. Aku sudah tahu itu. Tempat yang selalu aku kunjungi karena kopi YH yang paling dia suka hanya ada di situ. Dan tugasku adalah menyiapkan untuknya, yang berarti dalam sehari, jika dia sedang berada di kantor, berarti aku yang harus selalu berlari-lari membelikan untuknya. Tak terbayang jika aku harus berkunjung ke situ lagi, aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan jika seumpama bertemu dengan YH lagi.
“boleh dicoba. Kalau kamu tidak keberatan,” sahutku kemudian. Aku sendiri heran dengan mulutku yang mengucapkan hal itu dengan tenang, padahal pikiranku berkecamuk, antara apa yang akan aku ucapkan jika di situ bertemu dengan YH, jika karyawannya masih mengenaliku, dan lain-lain, dan lain-lain.
Kita sudah sampai di depan gedung. Aku semakin berdebar. Turun dari mobil dan melangkah masuk melewati pagarnya, aku mendesah berat. Seakan ada beban menindih dadaku.
Ruang lobi masih sama interiornya, bersebelahan dengan ruang pengisian daftar kehadiran. Aku merasa satu cobaan berlalu saat kulihat petugas front desk yang sekarang sudah berganti. Aku hanya mengekor di belakang Taka, sambil membawakan berkasnya. Melirik ke sekeliling ruangan, aku kembali fokus mengikuti Taka menuju ruangan Minji. Sepertinya ruangan Minji masih sama, karena aku masih ingat jalan yang kita lalui, masih sama seperti dulu. Aku bersyukur di koridor sedang sepi, jadi tidak berpapasan dengan siapapun. Hingga akhirnya masuk ke ruangan Minji. Kita disambut dengan senang oleh asisten Minji. Sambil duduk menunggu, aku membetulkan kacamataku yang sebenarnya tidak apa-apa. Aku resah.
Bertemu Minji.
Dia hanya manajer seorang aktris yang multitalen, yang akan kita undang untuk mengisi acara di perusahaan. Namun sebagai manajer, Minji melakukan semua tugasnya secara total, seakan aktris asuhannya adalah anaknya. Jadi dia mengurus mulai dari keseluruhan acara, urusan rumah, hingga kebutuhan-kebutuhannya. Sejak awal aku mengenalnya, aku merasa dia sangat profesional dalam menjalankan tugasnya.
“astagaa...Son Hae...aku senang bertemu denganmu.” Tak kusangka Minji memelukku sedemikian seperti teman lama. Aku hanya melongo dengan sikapnya. Seperti tidak melihat bahwa Takalah ketua rombongan yang bertugas menemuinya. Minji duduk di sebelahku. Dia terlihat sangat senang, dan sebelum sampai menanyai Taka ada maksud apa datang ke kantornya, dia sudah menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri kuwalahan menjawabnya. Aku hanya menjawab sepotong-sepotong, bahwa aku bekerja di kota ini lagi, aku menghilang hanya sesaat, dan aku yang masih karyawan magang. Dan pernyataan Minji yang selanjutnyalah yang paling mengejutkan aku,
“kau tahu, setelah kau tinggalkan, YH jadi sangat payah. Kau tahu kan kalau dia itu baik, kepada siapa saja, tapi dia sampai berlaku tidak sopan pada saat itu, kepada big boss, berarti dia benar-benar marah dan tersinggung. Kuberitahu kau, dia melempar uang 20 juta itu ke arah direktur. Dia mengumpat, bahwa dia tak bisa dibeli, dan 20 juta itu adalah dia membeli anaknya, karena sudah membuatmu pergi dari hidupnya. Ah, kalau saja semua karyawan bisa berlaku seperti itu, pasti keadilan akan tegak di perusahaan ini. Semua orang menggosip hal itu setelahnya, tapi hanya sebatas bisik-bisik di dalam. Karena jika sampai berita ini keluar, siapapun akan ikut keluar tanpa sepeserpun. Ancaman itu sangat jitu.” Kalimat-kalimat Minji disertai emosi yang meledak-ledak, membuat Taka semakin bertanya-tanya, semakin mengira-ngira, siapa yang dimaksud.
Setelah acara curhat panjang lebar, dan Taka benar-benar tidak dianggap, akhirnya Minji menyadari kepentingan kedatangan kita. Dia menyelesaikan penandatanganan berkas, sambil berjanji untuk ikut membuat acara perusahaanku sukses. Kembali Minji berganti topik, seakan baru saja hal itu terlintas di kepalanya,
“kau tahu, YH sangat produktif sejak kau tinggal. Dia menyelesaikan beberapa lagu dalam waktu singkat. Dan kau dengar kan lagunya, bernada seperti apa. Dia benar-benar merindukanmu, kurasa.”
Dasar, Minji sok tahu banget, gerutuku dalam hati.
akhirnya pekerjaan yang harus aku dan Taka lakukan selesai juga. kamipun bersiap meninggalkan gedung. aku mendesah pelan saat berjalan kembali menuju mobil. dalam hati aku bersyukur aku tidak bertemu manajer YH ataupun Hyung, atau siapapun yang malah akan membuat pertahananku jebol. namun sesuatu terjadi kemudian.
saat tanganku terulur untuk membuka pintu mobil, aku menoleh pada mobil merah yang berjalan pelan dua mobil di belakang mobil Taka. aku masih mengenali mobil itu. mobil sport merah milik YH. jantungku langsung berdebar keras. aku dengan gugup segera membuka pintu mobil, dan masuk ke dalam mobil dengan terengah-engah. aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menarik nafas panjang, duduk bersandar di dalam mobil. dadaku semakin sesak saat kepalaku justru secara reflek menoleh ke belakang dan kulihat YH dengan jins dan kaus putih turun dari mobilnya. aku merasa waktu seakan berhenti berputar, kepalaku tiba-tiba pening, namun aku tak ingin berpaling. aku semakin lemah dan tak sanggup melupakannya.
Kami berlalu meninggalkan gedung itu, dan acara ke starbuk seperti yang dijanjikan Taka justru berlalu bagai asap. entahlah, mungkin suasana hati Taka berubah ketika keluar gedung tadi. aku tidak terlalu perduli. yang jelas, ekspresi Taka benar-benar berbeda dari ketika berangkat tadi. aku merasa sesuatu yang dikatakan Minjilah yang menjadi penyebabnya. hatiku sedang dipenuhi bayang-bayang indah YH, segala kenanganku tentangnya. jadi aku tidak perlu terlalu memperhatikan Taka.
kita  membisu dalam perjalanan kembali ke kantor.
"kamu pernah bekerja di FNC ya?" akhirnya Taka buka suara.
aku tak sanggup menjawabnya. aku tahu jika aku menjawabnya dengan apapun, dia pasti tidak percaya, jadi aku hanya memilih diam. aku tak mau menyangkal, tapi aku juga tak mau mengiyakan. aku hanya belum siap untuk menjelaskan padanya. kemudian Taka berujar lagi, menutup keheninganku,"oke, kamu berhutang satu jawaban padaku"
aku masih belum tahu harus tersenyum atau apapun, aku hanya menatapnya. karena di dalam kepalaku hanyalah bayangan YH yang tadi sekilas kutemui. bayangan bahwa YH masih hidup, sehat, dan nyata, hal itu mampu membuat duniaku serasa berhenti berputar.
"kau jangan melupakan tugas kita hari ini." Taka membawaku kembali pada kenyataan, seakan yang baru saja aku lewati memang benar-benar mimpi.
aku menyelesaikan tugas dengan ringan, sekilas kadang tersungging senyuman, aku merasa hari ini tiba-tiba saja cerah.



Oktober 29, 2017

envy or jealous?

masih saja di timeline video itu ada yang posting. semakin dilihat, semakin hafal pula setiap gerakan, setiap detik perkembangan chemistrynya, dan setiap detik pula rasa envy dan jealous yang bercampur itu meningkat. seharusnya memang tak perlu dilihat. dan seharusnya tak siapapun berhak untuk mengunggahnya. harus benar-benar melihat dramanya, barulah nanti akan ketahuan seperti apa adegannya. dan lalu akan direview dimana-mana. ini tidak. belum apa-apa sudah heboh di timeline, tentangnya.
hari ini, sejak beberapa hari yang lalu hebohnya timeline, aku kembali ke kantor dengan tingkat kegalauan yang mencapai puncaknya. kantor masih sepi seperti biasa, saat aku meluncur pelan menuju spot parkir favoritku di basement. aku melangkah gontai menuju front office, sambil berfikir untuk melanjutkan pekerjaanku yang masih belum selesai sejak kemarin. aku masih berkutat dengan pikiranku, sambil berjalan menuju pintu lift, lalu aku tersadar bahwa hari masih terlalu pagi dan sepi, aku tidak berani masuk ke dalam lift sendirian untuk naik ke ruang kerjaku. aku berhenti tepat di depan pintu lift, tersadar, kemudian kulangkahkan kakiku ke samping pintu, berharap akan ada orang yang akan masuk ke dalam lift juga, agar aku tidak sendirian di dalam lift. kemudian dari jauh kulihat taka berjalan ke arahku. dia tersenyum, bahkan sejak melihatku beberapa langkah dari titik dia berjalan tadi.
"ayo," sapanya. aku tersenyum dan mengangguk membalasnya untuk kemudian masuk ke dalam lift bersama. aku bersyukur sekali dan menarik nafas penuh kelegaan karena kita menuju lantai yang sama. aku memikirkan penyakitku yang tak bisa sembuh itu, klaustrofobia. sampai kapan aku harus mengalaminya. aku menunduk, berpegangan kuat ke dinding, dan mungkin saja otot-otot tanganku sudah banyak yang menonjol keluar, lalu aku merasa tanganku yang sebelah digenggam hangat oleh taka. aku kaget dan langsung menoleh. ekspresinya hanya menahan senyum, sambil mempererat genggamannya.
"ah, maaf," gumamku kepadanya.
"seharusnya kamu memang menungguku setiap hari. aku semakin kawatir jika kamu selalu datang lebih pagi seperti ini."
"aku sudah berusaha untuk berani. tapi.." kalimatku menggantung saja karena tanda sudah menunjukkan lantai tempat kerjaku. sehingga dengan segera kulepaskan tangannya. aku melangkah mendahuluinya menuju ruang kerja, meninggalkannya sebelum terjadi apa-apa dengan jantungnya jika berdekatan denganku lagi. aku mengakui memang dia menyukaiku dari awal kita bertemu, dan diapun sudah memberitahuku tentang perasaannya itu, namun hatiku masih belum mampu menerimanya. hanya karena aku masih belum bisa melupakan yonggi, masih belum bisa menerima orang lain sampai entah kapan. jadi aku merasa sangat perlu untuk menghindari kedekatanku dengan taka, agar dia bisa mengerti keadaanku.
aku memulai persiapan kerjaku, berharap bayangan video yang menyesaki timeline tidak terlalu mempengaruhiku.meski kenyataanya masih saja terlintas di benakku, bayangan ciuman yonggi itu.
sebenarnya hal mendasar yang paling mempengaruhiku, adalah kenyataan bahwa aku pernah tidur dengannya. semua yang sudah kita lalui. hingga berakhir pada kenyataan yang mengharuskan aku untuk meninggalkannya. tetapi segala perasaanku yang aku alami saat bersamanya tak juga mau meninggalkan pikiranku. berulang kali aku merapalkan mantra, bahwa dia hanya akting, dia hanya akting, dan seterusnya, namun masih saja rasa jealous tak urung membuat kepalaku pening. aku bahkan pernah berharap yonggi membayangkan aku saat melakukan adegan itu, dan dia berusaha bersikap seprofesional mungkin sehingga adegan itu hanya perlu dilakukan sekali saja. ah, ini hanya imajinasiku. aku tak mengerti kenyataannya bagaimana.


November 23, 2016

kali ini adalah curhat beneran

masih melulu tentang devil. aku sampai geleng kepala jika merasakan mengenai hal ini. betapa susahnya menghadapi kenyataan jika dihadapkan padanya.
aku sudah merasa menghindarinya, berbicara seperlunya, jika memang ada perlunya saja, menanggapi seperlunya saja, aku sudah mengembalikan apa yang sudah bukan hakku lagi, aku merasa sudah melakukan seluruh tugasku, berusaha untuk selalu mengerjakan dengan sebaik-baiknya, berusaha untuk tidak larut dan terpengaruh dalam pikiran negatif yang ditimbulkannya, dalam sindiran kata-katanya, namun masih saja SEMUA ITU BELUM SELESAI. aku perlu menambahkan capslock karena aku sudah benar-benar malas menghadapinya. semua serba salah saja di matanya.
mulai dari awalnya diungkit-ungkit tentang jasa yang sudah dilakukan, tentang barang yang sudah diberikan, tentang jasa dalam mengikutkan aku dalam mendapatkan penghasilan yang lebih, aku sakit hati denga hal itu. apa aku salah? rasanya seperti menjilat ludah sendiri, kok tidak ikhlas begitu ketika beramal.
lalu tentang perhiasan yang aku pakai, yang malah membuat sindiran tak nyaman didengar. dikiranya mau menyaingi. waduh, kalimat apa pulak itu? aku tak ada seujung rambutpun niatan untuk menyaingi. jika merasa akhirnya tersaingi, bukankah itu berawal dari pikiran sendiri yang tidak senang jika teman lain memakai hal yang sama, memakai barang yang sama. lalu jika aku bilang hal itu adalah jealous, aku salah?
lalu tentang aku mengembalikan inventaris kantor, salah lagi? aku memang sudah berniat mengembalikan inventaris kantor itu, karena tahun depan saat akan pergantian atau pergeseran unit kerja, lambat laun pasti aku kalah posisi, dan pasti harus aku kembalikan. lalu jika barang sudah aku kembalikan, maka itu salah? menyinggung perasaan? gak menyinggung perasaan gimana cobak, jika disindir dengan kata-kata bahwa selama ini sudah diusahakan diberi tambahan penghasilan, tapi balasannya seperti itu? lha kata-kata yang sudah terlanjur aku dengar itu, sudah terlanjur menyakiti hatiku, lalu aku yang salah?
lalu tentang aku yang emang lagi ngomongin soal ujian anak-anak di rumah, lalu langsung saja dituduh nggosip, aku yang salah? siapa sih yang selalu punya pikiran buruk begitu? apa menyehatkan? padahal aku malah sedang membicarakan hal yang jauh darinya, dan siapa yang sudah berpikiran negatif dengan mengatakan aku nggosip? keren sekali sikapnya. hanya karena devil atasan, lalu yang berhak sakit hati dia saja? aku tidak berhak? bagaimana tentang mengelap-lap barang dan jasa yang sudah diberikan itu? mengharap balasan seperti apa? kok aku dituduh jika ingin diperlakukan seperti manusia, tolong untuk memanusiakan orang lain, lalu bagaimana dengan sindiran-sindiran yang setiap hari beterbangan di dalam ruangan hingga membuat ruangan terasa gerah? bagaimana dengan perasaanku? aku masih salah?
lalu tentang si kecil itu. salahkah jika aku merasa dirugikan dengan sikapnya? sikapnya yang sungguh kekanakan karena laporan-laporannya pada devil? setiap kata, setiap tindakan, walau devil tak ada, lalu terdengar olehnya, lalu anginkah yang memberitahukannya? apakah angin  akan selalu membawakan segala yang dilihat dan dirasakannya? sungguh tak masuk akal jika angin akan melaporkan semua yang dilihat dan didengarnya.
kini jika aku sudah tak lagi dekat dengan si kecil, enggan aku berakrab dengan si kecil karena aku tahu segala yang aku katakan, segala yang aku lakukan, akan sampai padanya. aku baru menyadari saat si kecil tiba-tiba saja tanpa sengaja mengakui tentang apa yang sudah dilakukannya. lalu jika aku katakan hal semacam itu menyakitkan aku, aku salah?
lalu tentang kunjungannya pada pp. jika aku pertanyakan untuk apa sampai melakukan hal semacam itu, aku yang salah? aku mencoba untuk melihat kembali diriku sendiri, mungkin memang aku yang salah, mungkin karena aku sudah susah sekali untuk dibina, maka yang bertanggungjawab membinaku adalah pp. aku mencoba untuk melihat dari sisi aku melakukan hal apa yang menurutku masih belum selesai kukerjakan, belum benar yang aku kerjakan, dan yang sudah aku katakan selama ini. tapi bukan harus dengan laporan ke pp juga kan? mengapa harus memarahi orang ketika ada banyak orang, mengapa harus mengadukan orang lain pada orang yang seharusnya berada di luar lingkaran. apa aku sudah demikian salahnya sehingga susah untuk diperbaiki?
mungkin jalan yang harus aku tempuh demikian adanya. aku harus kembali merasakan kepahitan demi kepahitan ini. aku enggan untuk mengelap-lap kesalahan siapapun. aku hanya ingin melanjutkan ke depan saja, melupakan untuk selalu menoleh ke belakang, apalagi pada kesalahan yang telah lampau. masih banyak yang harus aku perhatikan. jika aku selalu saja menanggapi semua ini sebagai salahku, percuma. aku sudah malas untuk berdekatan lagi. aku ingin selalu fokus pada mencari hiburan saja, agar hatiku terhibur dan tidak lagi merasa sendiri.