Februari 13, 2018

REALLY BAD OR GREAT DAY?

Hari ini harusnya aku bersyukur, bahwa aku masih bisa menikmati hari, masih bisa ngantor, dan lain-lainnya. Namun apa daya jika di kantor pun mulai terasa ketidakenakan itu.
Setelah berjuang dengan dingin, dan mencari spot parkir terbaik menurutku di basement, aku mulai bekerja seperti biasanya, secangkir kopi di mejaku. Itupun setelah aku dengan terpaksa membuatkan kopi untuk teman seruanganku. Aku mulai mengerjakan apa yang menjadi tugasku sejak hari kemarin yang belum selesai. Hingga tiba saatnya sebuah panggilan mengalihkan perhatianku. Taka sudah berada di dekat mejaku, mengajakku untuk mengikutinya ke ruang rapat. Gosh...meeting apa lagi ini?
Di ruang meeting,
Aku agak melongo karena hanya berdua dengan Taka. Sebersit pikiran tak jelas dan mengandung kemarahan bahwa aku hanya akan diajak membicarakan hal-hal yang tidak penting oleh Taka, maka aku meliriknya tajam. Mulutku masih terkunci, dan mungkin saja sudah terlihat cemberut. Namun sebentar kemudian kepala ruanganku masuk ruang rapat. Kepala ruang, kepala bagian, yang super arogan dan judesnya minta ampun. Perempuan late 30s yang belum menikah, judes, mungkin cowok akan segan mendekati cewek judes begitu, dan suka merendahkan orang lain. Hal terakhir yang aku sebutkan tadi menutup segala sifat jelek yang dia miliki. Karena memang masih banyak yang belum aku sebutkan.
Dengan tatapan merendahkan, dia menyodorkan berkas kepadaku, dan sebelum aku menggapai berkas itu untuk aku lihat isinya tentang apa, dia sudah mulai membuka suara,
“tolong kamu minta tanda tangan ke Minji, staf FNC yang mengurusi kontrak kerja ini dengan perusahaan kita untuk acara bulan depan. Ah iya, apakah kamu tahu FNC?.....oh tidak usah deh, kamu Taka, kamu saja yang mengurus berkas ini, menyerahkan honor, dan jangan lupa tanda terimanya. Aku takut kalau nanti dia(sambil telunjuknya mengarah kepadaku) malah tak bisa menguasai diri dan berkas ini tidak selesai. Karena yang akan kalian kunjungi itu perusahaan besar, tempat artis besar bekerja, jadi kupastikan kalian pasti akan bertemu artis di sana. Maka itu aku tidak percaya padamu. (telunjuknya mengarah kepadaku lagi) Aku menunjukmu karena aku ingin kamu menemani Taka saja.  Dan tolong nanti sepulangnya kamu belikan makan siang, sekaligus snack untuk meeting nanti sore. Jika ada yang kurang jelas, ada 5 menit untuk bertanya.”
Dan 5 menit itu masih berjalan setengah menit saat dia membuka suara lagi,
“oke. Kalian berangkat sekarang saja. Aku yakin perintahku itu cukup jelas.” Kemudian dia berlalu.
Ssshhhh......aku menghela nafas panjang. Aku mengumpulkan seluruh umpatanku di dalam cemberutku. Pikiranku masih melayang pada kepala bagian yang arogan tadi, pidatonya, dan tak lupa, pada tangannya yang jelas menunjukku dengan nada merendahkan yang sangat aku benci. Seperti aku hanyalah tikus got yang tak patut untuk  berada di sini. Aku benar-benar tidak menyadari kehadiran Taka, karena hanya sibuk dengan amarahku yang langsung memuncak namun aku tak bisa berucap sepatah katapun, hingga kurasakan tangan Taka menyentuh tanganku. Aku terkejut.
“ayo kita segera berangkat.”
Aku mengikuti Taka keluar kantor. Kubawakan berkasnya, dan kujinjing tasku. Sepanjang koridor menuju pintu basemen aku hanya diam dengan pikiranku. Mataku terasa sangat panas. Ingin rasanya aku menangis, namun aku masih cukup sadar bahwa aku sedang bersama Taka. Aku ingin terlihat cukup kuat menghadapi situasi tak enak di tempat kerja.
Di mobil, di sebelah Taka,
Aku baru menyadari satu hal yang penting namun terlewatkan. Tujuan kami adalah ke FNC. Dan aku semakin galau, semakin aku tutup mulut, apalagi lagu yang terdengar di radio mobil malah lagunya YH. Pikiranku semakin kacau.
“kau tak apa-apa?” tanya Taka penuh khawatir. Aku hanya menggeleng.  “jangan dirisaukan hal yang tadi dikatakan oleh kepala bagian. Dia hanya menjalankan tugas.
Aku menyahut dalam hati, “menjalankan tugas merendahkan orang lain? Huh.”
Aku masih terdiam. Semakin kupikirkan, semakin membuatku ingin menangis. Mataku mulai terasa panas kembali, jadi akhirnya aku menggosoknya. Seakan menghapus jejak, kuraih tisu lalu kugosok mataku, mengerjap perlahan, sambil terus mendengar suara YH, mulai ikut menyenandungkan lagunya, agar aku merasa lebih baik. Perjalanan terasa begitu lambat. Kantorku yang memang jauh dengan FNC, membuatku hanya melamun sepanjang perjalanan. Mencoba untuk memulai pembicaraan yang paling basi sekalipun, aku sedang tidak berhasrat. Dan mungkin Taka sudah mengerti hal ini, jadi dia pun tak ingin mengganggu pikiranku.
“kau mau kopi?” Taka menawarkan sebuah solusi yang membuatku segera mengangguk. Dia memutar mobilnya, karena sepertinya kafe telah terlewati,
“kau tak perlu sampai putar balik begini hanya untuk mampir membeli kopi,” sahutku tergagap.
“tidak apa-apa. Aku hanya merasa kalau mungkin saja dengan segelas kopi, bisa membuatmu lebih baik. Kulihat kamu hanya melamun saja dari tadi.”
Di kafe, Taka pula yang memesankan kopi. Dia sudah lama mengetahui selera kopi kesukaanku. Aku disuruhnya menunggu di mobil. Aku memejamkan mata sejenak saat dia berlalu ke dalam kafe. Kurenungkan lagi saat aku sehari-hari bekerja sambilan di FNC, ketika itu. Ketika aku masih sendirian jauh di negeri orang, ketika belum bertemu ayahku, dan berganti kewarganegaraan. Saat aku bekerja sebagai pengurus rumah, asisten manajer, dan asisten kordi nuna. Dan terlebih lagi, aku bekerja kepada YH. Mungkin aku akan bertahan, memberi salam perpisahan yang terbaik saat berhenti bekerja dan kembali kepada ayahku, andai saja aku tidak masuk dalam skandal dengan anak direktur yang sudah membeli harga diriku. Yeah, aku dipaksa untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan YH, dan melanjutkan hidupku sendirian. Aku tak sebersitpun pernah terpikir untuk merebut YH untuk menjadi kekasihku, aku tahu YH tidak menyukaiku, dan juga tidak menyukai anak direktur. Aku cukup tahu siapa dan seperti apa tipe idaman YH, jadi sebenarnya aku bukan merupakan sebuah ancaman. Dalam arti asalkan anak direktur memang belum tahu kalau aku sudah pernah tidur dengan YH. Aku merasa lelah berkonflik dengan idol, belum lagi jika nantinya akan susah mencari pekerjaan di kota yang sama saat dimana-mana orang akan mengenaliku sebagai trouble maker, spoiler, atau apalah. Jadi sebelum segala skandal itu keluar ke publik, aku memilih untuk menggadaikan harga diriku dengan menerima uang yang ditawarkan anak direktur kepadaku. Jumlah yang cukup lumayan, untuk biaya hidupku selama setahun, meski aku harus memulai lagi dari nol, di kehidupanku. Untuk urusan kuliahku, masih bisa kulakukan dengan kuliah jarak jauh, dan urusan mencari ayahku, akan aku lakukan kemudian, pikirku waktu itu.
Kini setelah semua berlalu, setelah pertemuan dengan ayahku, bekerja di tempatnya, menempati  rumah yang diberikan kepadaku, aku harus kembali menapaki sisa-sisa kenanganku di kota ini. Termasuk aku harus kembali ke gedung FNC.
Aku terkejut saat Taka menyentuh lenganku. Mataku terbelalak terbuka, karena aku benar-benar tak mendengar suaranya memasuki mobil.
“maaf. Aku membangunkanmu ya?” dengan tersenyum Taka berucap.
“tidak apa-apa. Aku tidak tidur, hanya saja aku memang tak mendengar kedatanganmu.”
“kamu melamun dari tadi.”
“sedikit. Aku hanya menahan marah sejak dari ruang rapat tadi.” Akhirnya aku berhasil mengeluarkan isi hatiku. Taka hanya tersenyum mendengarnya. Mungkin dia sedang merasa selangkah ke depan mendekati hatiku. Ah, kalau saja hatiku mampu menerimanya, aku merasa Taka sangat baik dalam memperlakukan perempuan. Namun sayangnya, hatiku sudah tertutup. Aku hanya memilih YH. Aku tak bisa menyukai orang lain lagi.
Perjalanan berlanjut. Lagu yang mengalun masih saja lagu-lagunya YH. Dengan kopi yang disodorkan Taka tadi, yang segera kunikmati, membuatku sedikit lebih segar dan mampu menjernihkan pikiranku. Setidaknya aku sudah merasa lebih baik daripada sebelumnya.
Namun perjalanan semakin mendekati FNC, tak urung membuatku berdebar juga. Pikiranku berkecamuk, bagaimana jika aku bertemu dengan orang-orang yang aku kenal, bagaimana jika aku ditanya mengenai banyak hal mengenai skandal anak direktur itu, aku harus menjawab apa, lalu,
“kamu jangan melamun lagi, dong. Ada starbuk yang bisa kita kunjungi di sebelah FNC. Kopinya tentu lebih enak.” Taka memprotes pikiranku. Aku tak menjawab, hanya menoleh padanya dan tersenyum. Aku sudah tahu itu. Tempat yang selalu aku kunjungi karena kopi YH yang paling dia suka hanya ada di situ. Dan tugasku adalah menyiapkan untuknya, yang berarti dalam sehari, jika dia sedang berada di kantor, berarti aku yang harus selalu berlari-lari membelikan untuknya. Tak terbayang jika aku harus berkunjung ke situ lagi, aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan jika seumpama bertemu dengan YH lagi.
“boleh dicoba. Kalau kamu tidak keberatan,” sahutku kemudian. Aku sendiri heran dengan mulutku yang mengucapkan hal itu dengan tenang, padahal pikiranku berkecamuk, antara apa yang akan aku ucapkan jika di situ bertemu dengan YH, jika karyawannya masih mengenaliku, dan lain-lain, dan lain-lain.
Kita sudah sampai di depan gedung. Aku semakin berdebar. Turun dari mobil dan melangkah masuk melewati pagarnya, aku mendesah berat. Seakan ada beban menindih dadaku.
Ruang lobi masih sama interiornya, bersebelahan dengan ruang pengisian daftar kehadiran. Aku merasa satu cobaan berlalu saat kulihat petugas front desk yang sekarang sudah berganti. Aku hanya mengekor di belakang Taka, sambil membawakan berkasnya. Melirik ke sekeliling ruangan, aku kembali fokus mengikuti Taka menuju ruangan Minji. Sepertinya ruangan Minji masih sama, karena aku masih ingat jalan yang kita lalui, masih sama seperti dulu. Aku bersyukur di koridor sedang sepi, jadi tidak berpapasan dengan siapapun. Hingga akhirnya masuk ke ruangan Minji. Kita disambut dengan senang oleh asisten Minji. Sambil duduk menunggu, aku membetulkan kacamataku yang sebenarnya tidak apa-apa. Aku resah.
Bertemu Minji.
Dia hanya manajer seorang aktris yang multitalen, yang akan kita undang untuk mengisi acara di perusahaan. Namun sebagai manajer, Minji melakukan semua tugasnya secara total, seakan aktris asuhannya adalah anaknya. Jadi dia mengurus mulai dari keseluruhan acara, urusan rumah, hingga kebutuhan-kebutuhannya. Sejak awal aku mengenalnya, aku merasa dia sangat profesional dalam menjalankan tugasnya.
“astagaa...Son Hae...aku senang bertemu denganmu.” Tak kusangka Minji memelukku sedemikian seperti teman lama. Aku hanya melongo dengan sikapnya. Seperti tidak melihat bahwa Takalah ketua rombongan yang bertugas menemuinya. Minji duduk di sebelahku. Dia terlihat sangat senang, dan sebelum sampai menanyai Taka ada maksud apa datang ke kantornya, dia sudah menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri kuwalahan menjawabnya. Aku hanya menjawab sepotong-sepotong, bahwa aku bekerja di kota ini lagi, aku menghilang hanya sesaat, dan aku yang masih karyawan magang. Dan pernyataan Minji yang selanjutnyalah yang paling mengejutkan aku,
“kau tahu, setelah kau tinggalkan, YH jadi sangat payah. Kau tahu kan kalau dia itu baik, kepada siapa saja, tapi dia sampai berlaku tidak sopan pada saat itu, kepada big boss, berarti dia benar-benar marah dan tersinggung. Kuberitahu kau, dia melempar uang 20 juta itu ke arah direktur. Dia mengumpat, bahwa dia tak bisa dibeli, dan 20 juta itu adalah dia membeli anaknya, karena sudah membuatmu pergi dari hidupnya. Ah, kalau saja semua karyawan bisa berlaku seperti itu, pasti keadilan akan tegak di perusahaan ini. Semua orang menggosip hal itu setelahnya, tapi hanya sebatas bisik-bisik di dalam. Karena jika sampai berita ini keluar, siapapun akan ikut keluar tanpa sepeserpun. Ancaman itu sangat jitu.” Kalimat-kalimat Minji disertai emosi yang meledak-ledak, membuat Taka semakin bertanya-tanya, semakin mengira-ngira, siapa yang dimaksud.
Setelah acara curhat panjang lebar, dan Taka benar-benar tidak dianggap, akhirnya Minji menyadari kepentingan kedatangan kita. Dia menyelesaikan penandatanganan berkas, sambil berjanji untuk ikut membuat acara perusahaanku sukses. Kembali Minji berganti topik, seakan baru saja hal itu terlintas di kepalanya,
“kau tahu, YH sangat produktif sejak kau tinggal. Dia menyelesaikan beberapa lagu dalam waktu singkat. Dan kau dengar kan lagunya, bernada seperti apa. Dia benar-benar merindukanmu, kurasa.”
Dasar, Minji sok tahu banget, gerutuku dalam hati.
akhirnya pekerjaan yang harus aku dan Taka lakukan selesai juga. kamipun bersiap meninggalkan gedung. aku mendesah pelan saat berjalan kembali menuju mobil. dalam hati aku bersyukur aku tidak bertemu manajer YH ataupun Hyung, atau siapapun yang malah akan membuat pertahananku jebol. namun sesuatu terjadi kemudian.
saat tanganku terulur untuk membuka pintu mobil, aku menoleh pada mobil merah yang berjalan pelan dua mobil di belakang mobil Taka. aku masih mengenali mobil itu. mobil sport merah milik YH. jantungku langsung berdebar keras. aku dengan gugup segera membuka pintu mobil, dan masuk ke dalam mobil dengan terengah-engah. aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menarik nafas panjang, duduk bersandar di dalam mobil. dadaku semakin sesak saat kepalaku justru secara reflek menoleh ke belakang dan kulihat YH dengan jins dan kaus putih turun dari mobilnya. aku merasa waktu seakan berhenti berputar, kepalaku tiba-tiba pening, namun aku tak ingin berpaling. aku semakin lemah dan tak sanggup melupakannya.
Kami berlalu meninggalkan gedung itu, dan acara ke starbuk seperti yang dijanjikan Taka justru berlalu bagai asap. entahlah, mungkin suasana hati Taka berubah ketika keluar gedung tadi. aku tidak terlalu perduli. yang jelas, ekspresi Taka benar-benar berbeda dari ketika berangkat tadi. aku merasa sesuatu yang dikatakan Minjilah yang menjadi penyebabnya. hatiku sedang dipenuhi bayang-bayang indah YH, segala kenanganku tentangnya. jadi aku tidak perlu terlalu memperhatikan Taka.
kita  membisu dalam perjalanan kembali ke kantor.
"kamu pernah bekerja di FNC ya?" akhirnya Taka buka suara.
aku tak sanggup menjawabnya. aku tahu jika aku menjawabnya dengan apapun, dia pasti tidak percaya, jadi aku hanya memilih diam. aku tak mau menyangkal, tapi aku juga tak mau mengiyakan. aku hanya belum siap untuk menjelaskan padanya. kemudian Taka berujar lagi, menutup keheninganku,"oke, kamu berhutang satu jawaban padaku"
aku masih belum tahu harus tersenyum atau apapun, aku hanya menatapnya. karena di dalam kepalaku hanyalah bayangan YH yang tadi sekilas kutemui. bayangan bahwa YH masih hidup, sehat, dan nyata, hal itu mampu membuat duniaku serasa berhenti berputar.
"kau jangan melupakan tugas kita hari ini." Taka membawaku kembali pada kenyataan, seakan yang baru saja aku lewati memang benar-benar mimpi.
aku menyelesaikan tugas dengan ringan, sekilas kadang tersungging senyuman, aku merasa hari ini tiba-tiba saja cerah.