Aku tergesa keluar dari convenient store, merasa sudah
memasukkan semua barang yang aku butuhkan, kubayar dengan tergesa, dan ingin
segera berlalu melawan dingin. Bergaul kembali dengan pemanas di dalam mobil,
pulang, lalu kopi. Kehangatan yang selalu aku bayangkan dalam benakku untuk
mengusir pikiran-pikiran tak menyenangkan tentang sebuah kenangan manis.
Kumasukkan barang ke jok belakang, kututup pintu mobil, lalu
kulihat seseorang mengawasiku. Aku mengingatnya, meski dia sekarang tampak
beda, ada kesan cambangnya yang tidak terurus, membuatnya terlihat lebih dewasa
dari usia sebenarnya yang masih seumuranku.
“hyung, apa kabar?”, aku menyerah untuk berpura-pura tidak
mengenalnya, karena dia sepertinya menelitiku dari jarak dekat. Akan sangat
ganjil jika aku berlalu begitu saja, mengingat dia memang teman baikku yang
juga pernah sering membantuku.
“bisa kita bicara?”, ajaknya.
“ya, baik. Dimana? Tahiti cafe? Aku tunggu di sana.” Aku
masuk ke mobil tanpa mencoba menawarinya tumpangan. Aku tak tahu dia berada di
situ sejak kapan dan dengan kendaraan apa. Aku hanya ingin bertanya beberapa
hal, memastikan sesuatu tentang seseorang, lalu kembali berlalu.
Di dalam cafe
“aku benr-benar kehilangan kontakmu. Aku juga tak tahu kamu
kembali ke kota ini.” Dia mengawali pembicaraan. Sejujurnya aku ingin dia tahu
begitu saja tanpa aku menjelaskan kondisiku, tapi akan sangat tak mungkin,
membuatnya mengerti kondisiku tanpa penjelasan dariku. Akhirnya aku ceritakan
jika aku telah menemukan ayah kandungku, aku sudah bekerja di perusahaannya,
meski masih sebagai pegawai magang, dan aku yang sudah menempati rumahku
sendiri. Aku hanya merasa kesepian sekali, karen teman kantor tidak boleh
mengetahui statusku, sementara teman kuliahku terbatas, membuatku sering hanya
diam di rumah.
“asal kamu tahu, Yonggi merindukanmu. Hari-harinya begitu
payah. Dia selalu merasa kamu akan kembali padanya. Dia bahkan sudah berani
melawan direktur hanya karena dia tidak suka dengan kelakuan anaknya.” Kalimat
ini membuatku terpana. Selama ini aku sudah mencoba untuk mengubur dalam-dalam
perasaan rindu kepada Yonggi, perasaan bahwa aku tak mungkin memilikinya,
hingga harga diriku yang sudah aku pertaruhkan ketika aku menerima uang dari
anak direktur untuk memutuskan hubunganku dengan Yonggi. Aku merasa tak pantas
lagi mengharapkan kerinduan itu berbalas. Aku tak sanggup menjawab kata-kata
hyung.
“dia mencarimu. Sering aku temukan dia sedang
mengulang-ulang kembali mv yang kalian buat di Jepang itu, hanya untuk
melihatmu lagi. Sepertinya dia sangat tersiksa dengan hilangnya kamu dari
kehidupannya.”
Aku menunduk. Kumainkan sendok di dalam cangkirku yang sudah
setengah kosong. Aku ingin mengaduk kopi itu, seperti mengaduk perasaanku, agar
sebersit rindu itu tak menyerang mataku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak
berkaca-kaca, membayangkan Yonggi yang duduk diam melihat mv yang pernah kita
buat itu.
“tolong hubungi kembali Yonggi. Ini kontaknya. Kuharap kamu
benar-benar mau kembali padanya, dan perbaikilah hubungan kalian. Aku melihat
kalian cukup serasi.” Dia menyodorkan ponselnya dimana tertera nomor Yonggi di
bawah fotonya. Aku terbata untuk segera mengkopi nomor-nomor itu. Belum tahu
akan kuhubungi atau tidak, tapi aku berharap nomor itu akan berdering di
ponselku juga.
Kamipun meninggalkan cafe. Kembali ke tujuan masing-masing.
Aku bergegas pulang. Aku tak memikirkan satu tempatpun yang
bagiku nyaman untuk aku menumpahkan perasaanku selain kepada bantalku. Jadi
akupun mengendarai mobil menuju rumah. Hingga tiba di rumah, aku letakkan
begitu saja belanjaanku, langsung menuju kamar, dan kutumpahkan tangisku di
bantal. Aku menangis sepuasnya dengan segala ingatan indah bersama Yonggi.
Seakan dia pasti akan merasakan perasaanku saat ini.
Entah sudah jam berapa saat aku tersadar. Kamar dan rumahku
masih terang benderang. Aku tadi langsung menuju kamar, tanpa melakukan
kebiasaan sebelum tidur. Waktu menunjukkan sudah dinihari. Aku berjalan menuju
dapur, minum, lalu melangkah ke ruang duduk. Kepalaku berdenyut-denyut sakit,
saking lamanya aku menangis hingga tertidur. Aku melamun beberapa saat untuk
kemudian kembali ke kamar dan bergelung kembali di bawah selimut.
Esoknya aku bangun kesiangan. Dan hal pertama yang aku
sadari adalah menelpon Taka, teman kerja seruangan, teman baik, dan teman yang
sudah pernah menyatakn perasaan sukanya padaku, agar aku bisa ijin tidak masuk
dengan alasan sakit. Aku memang sakit sekali, kepalaku sakit seperti dihantam
palu, dan rasanya sangat berat untuk duduk ataupun berdiri.
Seperti biasa, jika aku mengatakan sesuatu yang agak buruk
mengenai kesehatanku, selalu kudengar nada kuatir yang agak berlebihan dari
Taka. Mungkin karena dia menyukaiku, jadi aku tak boleh terluka sedikitpun. Dia
mengkuatirkan sesuatu yang tak perlu, batinku. Aku berusaha untuk terdengar
tidak terlalu menderita, hanya flu dan sakit kepala sehingga harus istirahat,
jadi minta tolong untuk disampaikan kepada kepala ruang. Tak lupa aku berjanji
padanya untuk pergi ke dokter, agar dia tidak melacak, dan bertandang ke
rumahku. Aku masih belum menceritakan tentang diriku yang sebenarnya kepadanya,
jadi aku buat seolah-olah tidak mencurigakan.
Aku menghabiskan menit berikutnya menelpon ayahku, yang
memastikan kedatangannya sore nanti, dan pengurus rumah yang akan segera
dikirim ke rumahku untuk membuatkan aku sarapan. Ah, hanya karena aku menangis
semalam, semua orang terdengar sangat repot mengkuatirkan aku. Akhirnya aku
berhenti menelpon. Lebih baik menikmati liburku daripada sibuk mendengar
kalimat tak perlu yang serba membuatku merasa seperti anak kecil yang tak mampu
apa-apa.
Kembali aku bergelung di bawah selimut, kuingat-ingat
kembali pertemuanku dengan hyung semalam, bahwa hyung bercerita Yonggi masih
mengharapkanku.
Aku mendesah, resah, ingin rasanya aku menelpon dia. Tapi
aku bingung mengawali pembicaraan. Aku
terlonjak kaget dari lamunanku ketika bel berbunyi, disusul bruk brak suara
pengurus rumah yang dikirim ayahku. Sepertinya dia langsung menuju kamarku.
Derap langkahnya terdengar dari dalam selimutku.
“sarapan apa pagi ini, nona?”
“apa saja yang hangat, Bi. Aku ingin kopi.”
“mengapa saat kedaan kurang sehat malah minum kopi?”
“aku merasa lebih enakan jika minum kopi. Tolong jangan lupa
kopinya, ya. Please!”
Dia segera berlalu.