Detik Pertama
"Non."
Sebuah sapaan yang mengejutkan aku. Aku ingin menoleh, tapi rasanya begitu berat. Aku mengenali pemilik suara itu. Aku masih belum lupa dengan sapaannya yang dulu pernah menjadi sebuah kebiasaan. Tapi hal itu sudah lama berlalu. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kalinya mendengar.
Detik Kedua
Aku menghentikan langkahku. Untuk sesaat kukira aku akan memberanikan diri untuk menoleh. Namun aku merasa akan sia-sia nantinya jika aku melihatnya. Mungkin yang terasa hanyalah kepedihan yang kembali terulang. Akhirnya kuputuskan untuk diam saja. Mematung.
Dan luka itu kembali terbuka. Aku sudah benar-benar ingin menguburnya, ketika sebuah sapaan tadi malah memunculkan kembali gambaran-gambaran yang dulu pernah menghiasi hari-hariku. Aku masih ingat ketika pertama kalinya aku tidak percaya dengan kata-katanya, tapi ternyata itulah sebuah kenyataan yang harus aku hadapi. Aku mendengar sendiri dia mengatakan padaku bahwa aku sudah tidak diperlukan lagi, ah bukan, aku sudah tidak diinginkan lagi olehnya. Penuh tanya aku menemuinya, meradang, dan jawaban yang aku dengar adalah "Maaf, selama ini aku tak bisa menjagamu. Aku tak bisa lagi membelamu. Aku harus menyerah dengan keputusan orang tuaku." Aku terpana.
Saigo no kisu wa tabako no flavour ga shita. Itu benar-benar terjadi juga padaku. Aku memang yang memintanya. Untuk terakhir kali. Dan sungguh pahitnya masih terasa begitu menyesakkan. Aku sudah tidak ingat lagi berapa lama aku berada dalam kedukaan, keputusasaan, kesedihan yang sama sekali tak mampu aku hindari. Setiap hari adalah hari baru untuk belajar mencintai, tapi tetap tak bisa aku sembunyikan sulur-sulur masa lalu yang masih menyisakan pahit itu.
Aku belajar untuk tidak lagi menoleh ke belakang.
Detik ketiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar