Aku awalnya bertanya-tanya, tumben sekali Jung mengajakku
bertemu. Mungkin sedang tidak terlalu sibuk dengan jadwalnya. Kucoba untuk
menuruti saja keinginannya bertemu. Dan di sinilah kita sekarang, di tempatku.
Masih mengira-ngira dalam hati, apa yang menyebabkan Jung
berlaku aneh bagiku sekarang, karena dia begitu saja menyodorkan secangkir
kopi. Tersenyum mengatakan,
“Untukmu.” Dan aku sedikit terpana, biasanya aku yang selalu
terobsesi untuk melayaninya, membiasakan untuk membuatnya nyaman ketika sedang
di tempatku. Kali ini sebelum aku sempat menuju dapur, dia sudah mengharumkan
ruangan dengan kopi buatannya.
“Udara sedang bagus, kita duduk di teras?” dan dengan
mendengus kesal aku melangkah keluar ruang, bagiku dinginnya udara di luar,
tidak menambah bagus suasana, kecuali dia yang selalu nampak gembira dan
tersenyum. Suasana hatiku memang sedang kacau. Di kantor, tadi seharian aku
banyak marah tak jelas, karena menurutku sedari pagi tidak ada seorangpun yang
bekerja sesuai dengan yang aku inginkan. Tidak satupun jadwal yang akrab dengan
kondisiku. Seperti contohnya, aku harus menghadiri makan siang dengan pemilik
proyek yang baru aku kerjakan, yang orangnya sangat menyebalkan, lalu meeting
di mana beberapa staf ahli, yang kukira ahli dalam pekerjaannya, malah
membantahku, dengan alasan kegiatan yang terlalu padat dan aku harus hati-hati
dalam memberi jadwal libur hari besar. Maksudnya, staf yang seharusnya
mendukungku, malah menurut dengan sekutu dalam hal penentuan libur. Aku begitu
lelah menghadapi mereka yang bekerja berdasarkan perbandingan berapa yang akan
kita dapatkan dan berapa yang harus kita kerjakan. Hingga sore tadi aku
menerima ajakan Jung, aku malah memikirkan untuk memecat mereka semua, namun
aku juga tahu kemampuan mereka yang akan beralih ke perusahaan lain, pasti
malah akan membangkrutkan aku.
Kusesap kopiku untuk sekedar menghalau rasa kesal di hati,
dan kurasakan hangat mengaliri tubuhku. Aku masih melamun, dan tak menyadari
senyuman Jung kembali menyapaku. Digenggamnya tanganku yang sebelah, yang tak
memegang cangkir,
“Kau nampak lelah. Mau aku pijit? Atau kita
bersenang-senang?”
Aku cukup memahami dia, jika dia mengatakan bersenang-senang
ketika bertemu denganku, berarti adalah sebuah ajakan untuk bermain cinta di
ranjang. Dan saat ini aku sedang tidak dalam mood untuk bercinta, sungguhpun
aku sudah hampir sebulan tidak bertemu dengannya.
Selama ini, hubungan yang selalu aku bilang rumit ini,
selalu dianggap baik-baik saja olehnya. Jika sepintas dinilai dari hubungan
fisik yang kita lakukan, dan rencana-rencana yang diberitahukan kepada ayahku,
mungkin menurut orang normal adalah baik-baik saja. Aku mengakui rumit, hanya
karena dia adalah idol, dan aku merasa enggan membicarakan relationship kita
kepada wartawan yang masih saja sering mencecarku dengan pertanyaan yang sangat
privat, seperti apakah selama ini kami sudah tinggal bersama. Dan Jung merasa
baik-baik saja karena dia sudah mengatakan kepada fansnya bahwa tidak mungkin
dia tidak memiliki kehidupan pribadi bersama seorang wanita. Bahkan dia dengan
terang-terangan sudah mengakui jika kekasihnya adalah aku, membuat hatersnya
menyerang bertubi-tubi, namun dia tetap tenang menjelaskan bahwa tak bisa
seseorang akan sempurna selamanya. Entah dia memperoleh kedewasaan berpikir seperti
itu dari mana, namun yang jelas, dia selalu tabah menghadapi semua rintangan
yang masih menyandung langkah kami. Harusnya aku cukup berbangga diri.
“Aku lelah di tempat kerja. Hari ini banyak hal yang tidak
sesuai dengan yang kuharapkan. Banyak jadwal yang berubah, banyak orang yang
menyebalkan yang aku temui. Aku benar-benar lelah.”
“mengapa tak kau coba menghabiskan kopimu saja? Mungkin bisa
membuatmu merasa lebih baik.”
Kusesap kembali kopiku, beberapa kali agar aku merasa lega, seperti melepaskan beban dalam dadaku.
Tak terasa sudah hampir kandas kopi di cangkirku ketika aku melihat sebuah
kilau di dalam cangkir,
“Apa ini? Seperti ada sesuatu di dalam kopiku”, aku berseru
dan kemudian kuulurkan telunjukku menggapai dasar cangkir. Kutemukan sebuah cincin
berlian yang sangat indah, melingkari kuku telunjukku, dengan berlumur sisa
kopi hitam dari dasar cangkir. Kulihat Jung yang mengembangkan senyumnya,
tiba-tiba menarikku dalam pelukannya,
“Will you marry me?” bisiknya.
Aku tak mampu berkata-kata, terharu dan terasa memanas
mataku. Aku menangis begitu saja dalam pelukannya.