Entah sudah cangkir keberapa yang kubawa, kusesap perlahan
kopiku. Aku melangkah mendekati jendela. Kulihat ke luar, titik-titik sisa
hujan yang turun, memantulkan cahaya malam. Membuat bias warna, yang berpendar
seakan mengejek mataku yang melihatnya. Aku melamun lagi. Aku hanya merasa kali
ini lebih nyaman untuk diam, sendiri di kamar, agar aku tak terganggu dengan
keharusan menjawab pertanyaan apapun, atau berbicara mengenai apapun. Aku hanya
ingin berbicara melalui hatiku. Mencoba mencerna perasaan yang melandaku.
Mereka-reka arti semua mimpi dan selalu bayang yang sama, di setiap terpejamnya
mataku. Aku sedetikpun tak sanggup melupakannya.
“Ahh,......” desahku perlahan. Benar-benar aku tak sanggup
mengalihkan perhatianku. Gadis itu telah mengaduk perasaanku, berhasil pula
membuatku gila karena selalu membayangkan keindahan kenanganku bersamanya.
Sisa kopiku masih terasa pahitnya di mulut, dan selalu
ketika aku menyesap secangkir kopi, dalam sendiriku seperti ini maupun dalam
keramaian, hanya pikiranku yang liar mengembara menghubungkan kenanganku
dengannya. Kenangan indahku yang berawal dari secangkir kopi. Segalanya yang
diawali dari secangkir kopi, hingga membuatku merasa seperti orang bodoh,
selalu memikirkannya.
Aku terus melamunkannya, sampai kudengar dering sms yang
mengusik perhatianku. Dengan malas kuhampiri handphone di atas meja, kulihat
sepintas, nomor yang tak kukenal. Tapi kubuka juga sms itu, setengah berharap
akan ada keajaiban dia akan mengirim kabar melalui sms tersebut. Aku tertegun dengan
pesan singkat yang tertera, dia sedang sakit, tak mampu untuk bekerja, dan
mohon ijin tidak masuk. Dari pengurus rumahnya.
Aku seperti keluar dari dunia yang tak nyata, benarkah
berita yang aku terima ini? Segera aku hubungi nomor itu kembali, dan memang
benar, pengurus rumah, atau seseorang yang mengaku sebagai pengurus rumahnya
memberitahu bahwa dia sedang sakit, dan akan segera dibawa ke rumah sakit,
sambil kembali mohon ijin untuk tidak datang ke kantor. Dia kira aku adalah
atasannya, mungkin. Jadi aku mengiyakan saja semua pernyataannya, tak lupa
dengan sedikit bumbu kekhawatiran. Padahal dalam hati aku khawatir, senang, dan
rasanya senyumku tak lepas dari wajahku. Aku seperti telah menemukan kembali
sesuatu yang telah lama hilang.
Kupejamkan mataku, kuingat-ingat kembali saat-saat
bersamanya, segala tentangnya. Aku benar-benar merindukannya. Aku ingin segera
pulang dan memeluknya. Tapi mungkin baru
dua hari lagi aku bisa pulang untuk menemuinya.
sungguhpun sebenarnya kabar yang kuterima bukanlah kabar yang baik, namun aku tak urung merasa ringan, merasa sedemikian dekat dengan pertemuanku dengannya.
kulangkahkan kakiku dengan ringan menuju studio, tempat teman-teman menungguku untuk latihan sebelum pementasan terakhir di kota ini. seakan mendapat tenaga baru, aku memasuki ruangan dengan sebuah senyuman, membuat orang melihatku dengan tatapan penuh tanya. Segera saja kujelaskan bahwa aku baru saja mendapat kabar baik mengenai dirinya, dan aku berencana menemuinya setelah kembali.