Desember 04, 2011

you're there

Aku melihatmu masih duduk termenung sendiri di situ. Di bangku itu. Setiap hari,pada jam istirahat,tanpa teman,tanpa siapa-siapa. Kadang kamu hanya mengutak-atik hp,kadang membaca,kadang juga hanya melamun. Seperti banyak beban yang kamu pikirkan. Sesekali aku juga pernah melihatmu menangis. Pernah aku sengaja menyapamu, dan saat kamu mendongak melihatku,aku melihat butir airmata jatuh dari sudut matamu.

Begitu ingin aku mendekatimu,duduk di sebelahmu. Mungkin akan kudengar ceritamu,atau sedu sedanmu, atau aku akan mendengar tawamu. Tapi tak kuasa kakiku melangkah mendekatimu. Seperti hanya mematung, aku berdiri di sini, agak jauh dari pandangmu, tapi masih dalam jangkauan kelilingmu. Aku masih bisa mendengar suaramu saat kamu menelpon seseorang, dan kudengar tawamu dari situ, sepertinya kamu sedang membagi bongkah-bongkah bahagia dengan entah siapa. Sungguh ingin aku menjadi orang yang sedang menelponmu itu.

Dan seperti sekarang, aku masih melihatmu dari bangku lain di sudut taman ini. Aku memberanikan diri untuk membawa diriku mendekatimu. Untuk kemudian duduk di sebelahmu. Tapi yang kulihat setelah aku mengatakan "Hai.." adalah sesuatu yang mengejutkan. Kembali kulihat ada bulir air mata menetes dari sudut matamu.
" Maaf. Apa aku mengganggumu?"
" Tidak. Ada apa?", dengan terbata dia mengucapkan kalimat itu. Agak terkejut sambil mengusap air matanya.
"Aku selalu melihatmu sendiri di sini. Kamu gak pernah ke tempat lain ketika jam istirahat?", aku berusaha mencairkan suasana seolah tak melihat air matanya yang membasahi pipinya tadi.
"Paling-paling hanya perpustakaan.Itu kalau sedang sepi baru aku betah di sana.". Ternyata dia tak sependiam yang aku kira. Aku jadi lebih berani lagi mengajaknya bicara. Mulai dari topik yang umum saja, hingga tak terasa waktu istirahat berakhir. Semoga besok aku masih bisa menemuinya lagi di sini, pikirku.

Hal yang paling membuatku marah, sedih, dan menyesali hari itu adalah sesuatu yang tidak aku kira sebelumnya, sesuatu yang di luar kehendakku. Aku tidak bisa menemuinya lagi pada jam istirahat karena aku harus mengikuti kegiatan di luar kota selama seminggu penuh. Betapa menyesalnya aku tidak mengetahui nonor teleponnya, aku hanya diam menahan marah saat teman-teman sibuk menelpon seseorang istimewanya pada jam rehat. Aku memang bodoh, dan sama sekali tak punya keberanian dalam memulai sebuah relationship yang indah dengan seorang indah bernama perempuan. Aku hanya bisa diam menahan rasa rindu, menahan semua kata-kataku yang begitu membuncah-buncah ingin kutumpahkan padanya.

"Aku merindukanmu", hanya itu yang aku tulis, di bagian tengah sebuah novel yang sedang aku bawa. Aku belum selesai membacanya. Karena aku susah berkonsentrasi untuk membaca. Mengerjakan tugas saja aku memeras otak begitu berat, hanya karena tugas itu adalah sebuah kewajiban.

Tiba-tiba terpikir untuk meminjamkan novel itu padanya. Semoga dia membaca tulisanku. Aku masih memikirkan bagaimana caranya agar buku itu bisa sampai di tangannya, ketika tiba-tiba saja dia muncul di depanku, mengulurkan sebuah buku, terlihat seperti novel juga, dan katanya,
"Kau boleh pinjam ini. Ada kalimat yang aku tandai. Coba kamu rangkai." Lalu dia tersenyum dan berlalu. Aku rasanya seperti diterbangkan angin, begitu ringan dan melayang-layang kehilangan gravitasi. Tak sabar aku membuka buku itu, tapi aku malah bingung tidak mendapati kata-kata yang dimaksudkan. Mungkin aku memang harus berhati-hati dan lebih teliti, karena aku merasa terlalu bersemangat sampai-sampai melupakan semua temanku yang sore itu mengajak janjian latihan bareng, aku tak peduli lagi.
"Sejak kapan kamu jadi lemot? Ada gebetan baru ya?" Bis mulai mengolok-olok.
"Biasa aja deh reaksinya. Aku sedang ada buku baru. Udah gak perlu ngurusin.", sahutku ketus.

Kembali kubuka dengan hati-hati lembar demi lembar novel itu. Novel biasa saja. Novel populer yang tidak begitu aku sukai, tapi kubuka-buka saja. Siapa tahu ketemu clue-nya. Dan satu demi satu lama-lama terlihat kata yang dimaksud. Segera kutulis dan ternyata hanyalah sebaris kalimat, "Terima kasih atas perhatianmu selama ini."

Aku tertegun, kembali kubaca-baca dan kuresapkan artinya. Mengapa dia mengatakan hal itu. Kukira akan kutemui kalimat seperti, "Aku merindukanmu" atau semacamnya. Tetapi semakin aku pikirkan, semakin lama aku merasa begitu dekat dengannya.

Hingga kemudian kutemui dia duduk sendiri lagi di bangku itu. Aku langsung mendekatinya. Tanpa pembukaan apa-apa aku langsung berkata
"Aku tidak merasa melakukan sesuatu kepadamu,juga memberimu sesuatu. Terima kasih atas apa?Maaf aku lama belum bisa membalas kalimatmu.Aku sibuk."
"Ya aku tahu. Atas entahlah. Aku hanya berterima kasih kamu pernah mendengarkan aku. Mungkin atas hal itu."
"Setiap kali aku melihatmu kamu selalu bersedih, kamu selalu melamun, dan seperti ada beban berat yang kamu rasakan."
"Ya", sahutmu tanpa menoleh.
" Tak baik menyimpan duka itu sendiri. Kamu tak ingin berbagi?"
"Untuk apa membagi luka? Tidak selayaknya membagi sesuatu yang tidak enak, tidak layak."
"Dan tidak semua orang menolak sesuatu yang tidak enak itu jika kau bagi. Aku tahu masalahmu dengan Raf. Maaf, aku tak bermaksud ikut campur, tapi itu kan yang kau risaukan?"
"Hmmm..."
"Sekali lagi maaf ya, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku juga tidak membela siapa-siapa, tapi sebaiknya kamu melupakan dia."
"Ya."
"Dia akan membayarnya."
"Apa maksudmu?", matanya menyiratkan tanda tanya besar.
"Bukan apa-apa. Masih ada yang akan membuatmu bahagia. Masih ada hal-hal indah yang bisa membahagiakanmu,jadi kamu gak perlu terus-terusan dalam duka."
"Aku ragu kapan saat itu ada."
"Kau akan tahu suatu saat nanti. Tunggu saja."

Dan begitulah hingga akhirnya aku bisa dekat dengannya. Berbagi banyak hal bersama, mengerjakan tugas bersama, membaca buku di perpustakaan bersama, tapi seperti masih ada sesuatu yang belum tergapai. Aku masih terasa jauh baginya. Hatinya masih begitu rapat tertutup, tak menyisakan sedikitpun celah untuk aku melaluinya.

Please be mine, aku sangat mencintaimu. Hanya itu yang aku tulis di kartu ucapan untuk seikat mawar yang aku kirimkan padanya.Aku membayangkan reaksinya adalah tersenyum sendiri di kamarnya. aku membayangkan dia akan dengan segera menelpon aku untuk bilang terima kasih atau apa. Aku membayangkan.......
"Untuk apa kamu mengirim bunga ini?". Sungguh hal yang benar-benar di luar dugaan. Aku tak pernah membayangkan betapa dia akan berlaku seperti itu. Aku benar-benar tidak siap dengan reaksinya. Aku mengira dia akan bahagia menerimanya. Ternyata tidak.
"Maaf klo aku sudah terlalu jauh mengira-ngira aku bisa membangun sebuah relationship denganmu. Tapi memang benar adanya, aku jatuh cinta padamu setelah smua ini terjadi. Wajar kan jika aku ingin membuatmu bahagia. Aku tidak ingin melihat kamu menangis lagi."
" Aku tidak butuh belas kasihmu. Kau jangan jadi pahlawan kesiangan dengan mengasihani aku, sebagai orang yang telah dibuang oleh Raf. Aku tidak ingin berurusan dengan pria sepertimu. Apalagi membuat sebuah relationship. Kalian para pria sama saja."
" Jangan sembarangan menyamakan aku dengan Raf. Kamu pikir semua pria sama saja huh? Kau ingin aku membuktikan apa? Bahwa aku bukan pahlawan kesiangan yang memanfaatkan patah hati kamu untuk kemudian mengambil kesempatan mendekatimu? Ketahuilah, bahwa jauh sebelum Raf menyakitimu, aku sudah mencintaimu. Bahwa aku sudah mendambakanmu. Aku hanya berada pada saat yang tidak tepat ketika menemuimu di sini, selalu sendiri dan selalu bersedih. Aku tidak rela kamu dipermainkan Raf begitu saja. Aku tidak mengasihani kamu. Ingat itu. Aku mencintai kamu.", panjang-panjang kalimatku, aku sampai ragu apakah kalimat-kalimat itu akan sampai pada pikirannya. Karena aku lihat ada kaca-kaca bening mulai menghalangi pandang matanya.
" Maaf aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya merasa kamu tidak pantas untuk disakiti. Seharusnya kamu dibahagiakan, dicintai, dan bukannya disakiti sebagaimana apa yang telah dilakukan Raf terhadapmu." Demi Tuhan, rasanya aku ingin memeluknya, menarik tubuh ringkih itu ke pelukanku, dan membiarkan dia sungguhpun ingin menumpahkan air matanya di dadaku. Tapi aku hanya diam mematung, di sampingnya, dan bahkan untuk meraih tanggannya ke dalam genggamanku saja aku tak sanggup.
" Sudahlah, kamu tak perlu berbuat apa-apa lagi. Sudah cukup aku terluka dengan segala urusan cinta, aku ingin sendiri saja. Setidaknya untuk saat ini. Aku masih belum bisa menerima apapun, siapapun, rasa percayaku terhadap hal itu masih belum sepenuhnya pulih."
" Sekali lagi maafkan aku ya, jika aku menyakitimu."
" Tidak apa-apa kok. Kamu tidak perlu minta maaf, aku yang seharusnya minta maaf, tak bisa memenuhi permintaanmu."
" Aku akan menunggumu. Sungguhpun sampai seribu tahun, aku akan menunggumu."

Aku melihatmu masih duduk termenung sendiri di situ. Di bangku itu. Dan ekspresi wajahmu semakin terlihat sedih, memendam duka yang mendalam. Aku tak mengenali apakah itu kesedihan atau penyesalan, atau keputusasaan. Terlihat begitu menyesakkan sehingga berkali-kali dia menghela nafas panjang, seolah membagi luka dengan udara. Ingin sekali aku mendekatinya, memeluknya, dan mengatakan bahwa aku akan selalu ada untuknya.

Tapi aku memang berada di sisinya sekarang, mungkin tanpa dia sadari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar