April 10, 2012

pertemuan

" Apakah aneh jika aku mengedit pikiranku yang akan aku bicarakan denganmu?"
" Tidak."
" Lalu mengapa kau mengernyitkan dahi seolah yang akan aku katakan seperti sesuatu yang aneh?"
" Bukan aneh."
" Lalu?"
" Terbaca dari semua ekspresimu, dari matamu, aku tahu kau bicara tentang sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar ingin kau bicarakan."
" Sebaiknya aku pergi sebelum aku benar-benar dikuliti olehmu."
" Tunggu. Jangan marah."
" Kau membuatku kesal. Kukira aku akan diterima dengan senang hati ketika aku membutuhkan kawan bicara."
" Dan aku memang dengan senang hati, kan? Aku menerima dan bersedia mendengarkanmu di sini. Kau sendiri yang mengawali dengan berkata bahwa kau mengedit apa yang kau pikirkan. Aku hanya menatapmu, kan? Belum memberi apresiasi atas apapun."
" Tapi dari tatapan matamu, aku hampir pasti dengan apa yang aku katakan tadi, kan?"
" Jika itu menurutmu, dan kau memang bisa tahu dari mataku, maka untuk apa kita berlama-lama dalam pembicaraan ini? Kemarilah, biarkan aku melihat ke dalam matamu. Kita diam saling berpandangan saja."
"........"
" Lima menit saja. Setelah itu kita lanjutkan pembicaraan kita."

Dari situlah awalnya, di dalam pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, sebelum sampai pada pokok pembicaraan, setelah mengucapkan salam, selalu kita hanya diam berpandangan. Hanya butuh waktu beberapa menit kita saling menatap dan mencoba membaca apa yang kita rasakan.

Namun pada akhirnya aku tak sanggup lagi menghadapi hal itu. Aku merasa dikuliti olehnya. Dan bahkan gundahku tak berkurang, keresahanku masih tak berujung saat aku kembali berhadapan dengannya. Kutatap dengan pandangan resah ke dalam matanya, kucoba untuk menyembunyikan perasaanku. Namun sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar