Aku ingin menumpahkan perasaanku kali ini. Aku ingin menulis hal-hal yang aku sendiri enggan mengakui, tapi sepertinya akan sulit jika aku semakin menghindarinya. Akupun ingin dia tahu perasaanku, dan karena itulah aku menulisnya di sini, dan bukannya di sebuah catatan kecil di notes, atau hanya memenuhi draft di hp.
Kemarin, dan setelah berkali-kali hal itu terjadi, aku kembali mendapati sebuah novel populer yang baru lagi di mejaku. Aku sudah bisa langsung tahu bahwa pasti ada yang ingin dia sampaikan. Aku juga sudah terlalu memahami bahwa dia lebih malu untuk menyerang, bukan, mengungkapkan perasaannya secara frontal lewat sms atau telepon, jadi aku terima saja kenyataan. Bahwa nanti semalaman aku akan sedikit repot dengan tugas ekstra untuk menyalin kata-kata dan kalimat yang telah ditandainya ke catatanku, untuk kemudian bisa terbaca maksudnya. Dan memang benar, aku menemukan catatanku berisi beberapa kalimat saja, tapi sudah cukup mengejutkan aku. Kali ini kalimat-kalimatnya memiliki nada yang berbeda dari biasanya. Penuh tuduhan dan amarah yang sepertinya agak sulit termaafkan. Atau mungkin terlalu dini jika aku katakan itu adalah kalimat yang bernada cemburu? Aku mendapati dia menulis (melalui kata-kata yang ditandainya) lebih tepatnya disebut pertanyaan-pertanyaan retoris, bahwa dia sudah mulai jemu menantiku dalam kebimbangan, bahwa dia mulai mempertanyakan kesungguhanku padanya, dan termasuk dia mempertanyakan hubunganku dengan cowok yang duduk di sebelah mejaku. Aku memang merasa ada kecemburuan dalam nadanya bicaranya, dalam pandangan matanya selama ini, tapi aku masih bisa menutupinya dengan selalu berpura-pura dia tidak menyadarinya. Hingga mungkin ini adalah batas kesabarannya. Kalimat-kalimatnya agak mengganggu pikiranku.
Seujung rambutpun tidak pernah terlintas dalam benakku untuk mempermainkan dia. Tapi kudapati kalimat yang menuduhku itu, justru menyadarkan aku, mungkin perasaannya terhadapku benar adanya. Aku yang masih sanggup berpura-pura sejauh ini selalu bisa menghindarinya untuk membicarakan emosi-seperti ini. Jauh di dalam hatiku aku mengasihaninya. Dia benar-benar tulus. Memberiku sekeping cinta dan perhatian, semua barang indah yang kini menghiasi kamarku, dan buku-bukunya mungkin sudah banyak yang berpindah ke rakku, dan entahlah. Serasa belum cukup aku menyadari bahwa semua itu dia lakukan hanya karena satu alasan yang umum. Cinta.
Aku tersadar, apakah aku mempermainkan dia? Aku samasekali tidak merasa demikian. Jika diingat-ingat kembali, aku merasa selama ini aku hanya diam, tidak menanggapi perasaannya. Tapi anehnya, aku bisa benar-benar mengerti dirinya. Aku bisa membaca ekspresinya, mengartikan tatapan matanya, hal-hal yang tidak pernah aku lakukan dengan orang lain. Ya, aku bisa memahami dia, aku mengerti perasaannya terhadapku, tapi aku sendiri tidak yakin apakah aku sudah melakukan hal yang benar dengan diamku ini. Hatiku serasa telah tertutup, pintunya sudah berkarat, sehingga dibutuhkan banyak sekali pelumas sebagai usaha untuk membukanya. Dan apakah pelumas itu sudah cukup sekarang? Ketakutanku akan ditinggalkan, dicampakkan, dipermainkan, hanya dijadikan objek taruhan, selama ini terbukti salah sejak dia mulai perlahan memasuki hidupku. Meski hatiku belum tersentuh olehnya, tapi kebersamaan kita selama ini kurasa sudah terlalu jauh menyiksanya.
Jika aku menyadari bahwa kebersamaan ini sudah terlalu menyiksanya, apakah hatiku bisa membuka untuknya? Aku sendiri tidak tahu. Atau mungkin lebih baik jika dia pergi saja? Aku masih ingat saat dia harus pergi untuk waktu yang agak lama, aku sendiri merasa bingung dengan diriku. Aku diam-diam membutuhkan kehadirannya. Aku mulai tak sabar menunggu kepulangannya, setiap hari berakrab-akrab dengan telepon, cemas menunggu telepon tengah malamnya, sibuk membayangkan dirinya saat dia mengatakan hal yang indah-indah. Akankah aku bisa selamanya kehilangan semua itu?
Aku mulai membiasakan diri berada di dekatnya, menganggap dia akan selalu ada, entah untukku atau tidak. Tapi bukan berarti aku bisa begitu saja menerimanya di hatiku. Hatiku masih terlalu egois untuk mengakui bahwa ada sebersit rindu kala dia tak ada. Mungkin benar-benar malu mengakuinya. Sehingga diperlukan usaha yang sangat keras untuk mencari-cari sudut terdalam tempatnya berada.
Akhirnya dengan mengabaikan rasa malu itu, sedikit saja aku mencoba memahami dari sudut pandangnya. Mengira-ngira apakah perasaannya terhadapku tidak berubah, atas apapun yang kulakukan dan aku katakan padanya. Namun semakin aku memikirkannya, semakin terpuruk perasaan bersalahku, bahwa aku hanya menyiksa perasaannya. Begitu teganya aku berbuat begitu sehingga ketika aku menyadarinya, mungkin dia sudah terlampau muak untuk kembali memahamiku.
Ah, apa yang harus aku lakukan kini, saat kemarahannya membuncah, dan aku telah benar-benar telambat? Benarkah aku mulai menyadari satu hal yang dari dulu aku takutkan, yaitu takut akan kehilangan dia. Aku menyesal telah membuatnya seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar